Minggu, 08 Mei 2011

MASA PEMERINTAHAN HABIBIE


BAB I
PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang
Turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan pada tanggal 21 Mei 1998. Sebagai salah satu penguasa terlama di dunia, dia cukup yakin ketika ditetapkan kembali oleh MPR untuk masa jabatan yang ketujuh pada tanggal 11 Maret 1998, segala sesuatu akan berada di bawah kontrolnya. Tetapi dua bulan sesudah Soeharto mengambil sumpah, Rezim Orde Baru runtuh. Ketika mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR pada tanggal 19 Mei 1998, presiden yang sudah berumur 75 tahun ini menyaksikan legitimasinya berkurang dengan cepat dan ia ditinggalkan seorang diri.
Soeharto yang selama 32 tahun memanipulasi eksistensi DPR/MPR untuk mengokohkan kekuasaan, akhirnya didepak oleh lembaga yang sama, lewat pernyataan pers tanggal 18 Mei 1998 (pukul 15.30), oleh Ketua DPR Harmoko yang didampingi oleh Ismail Hasan Meutareum, Fatimah Achmad, Syarwan Hamid dan utusan daerah di depan wartawan dan mahasiswa menyampaikan pernyataan sebagai berikut: “Pimpinan Dewan baik ketua maupun wakil-wakil ketua mengharapkan demi persatuan dan kesatuan bangsa agar presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri”. Keterangan pers Ketua DPR itu disambut gembira oleh ribuan mahasiswa yang mendatangi Gedung DPR/MPR. Bahkan, DPR/MPR sempat pula mengeluarkan ultimatum bahwa kalau sampai Jumat (22 Mei 1998) presiden tidak mundur, MPR akan melakukan rapat dengan fraksi pada hari Senin (25 Mei 1998). Usaha terakhir Soeharto untuk mempengaruhi rakyat dengan menyampaikan pernyataan dihadapan pers pada tanggal 19 Mei 1998 bahwa selaku mandataris MPR, presiden akan mereshuffle Kabinet Pembangunan VII dengan membentuk Komite Reformasi, untuk lebih meyakinkan rakyat diprogramkan bahwa tugas komite ini akan segera menyelesaikan UU Pemilu; UU Kepartaian; UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPRD; UU Anti Monopoli; UU Anti Korupsi dan hal lainnya yang sesuai dengan tuntutan rakyat. Akan tetapi Soeharto mulai terpojok secara politik karena 14 Menteri sepakat tidak bersedia duduk  dalam Komite Reformasi tersebut. Ke-14 Menteri tersebut adalah Akbar Tanjung, A.M. Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita, Giri Suseno Hadihardjono, Haryanto Dhanutirto, Ny. Justika S. Baharsjah, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi Bambang Sumadhijo, Rahardi Ramelan, Subiakto Tjakrawerdaya, Sanyoto Sastrowardoyo, Sumahadi, Theo Sambuaga, dan Tanri Abeng.
Penolakan ini melemahkan posisi Soeharto sebagai presiden karena dukungan untuk membentuk Komite Reformasi gagal ditambah lagi banyak desakan yang menganjurkan presiden untuk mundur. Perasaan ditinggalkan, terpukul telah membuat Soeharto tidak punya pilihan lain kecuali memutuskan untuk berhenti.
Pada pagi harinya, tanggal 21 Mei 1998, pukul 09.05, di Istana Merdeka yang dihadiri Menhankam atau Pangab Wiranto, Mensesneg Saadilah Mursjid, Menteri Penerangan Alwi Dahlan, Menteri Kehakiman Muladi dan Wapres B.J. Habibie, beserta Pimpinan Mahkamah Agung, Ketua DPR, Sekjen DPR, dihadapan wartawan dalam dan luar negeri Presiden Soeharto menyampaikan pidato pengunduran dirinya sebagai presiden.
Usai Presiden Soeharto mengucapkan pidatonya Wakil Presiden B.J. Habibie langsung diangkat sumpahnya menjadi Presiden RI ketiga dihadapan pimpinan Mahkamah Agung, peristiwa bersejarah ini disambut dengan haru biru oleh masyarakat terutama para mahasiswa yang berada di Gedung DPR/MPR, akhirnya Rezim Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto berakhir dan Era Reformasi dimulai di bawah pemerintahan B.J. Habibie

1.2        Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, kami dapat merumuskan beberapa masalah, yaitu:
1.2.1        Bagaimana proses pengalihan Kepala Pemerintahan dari Soeharto ke B.J. Habibie?
1.2.2        Apa saja kebijakan-kebijakan pada masa pemerintahan B.J. Habibie di Era Reformasi?
1.2.3        Bagaimana keadaan sosial di masa Habibie?
1.2.4        Bagaimana berakhirnya masa pemerintahan B.J. Habibie?
1.3        Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu:
1.3.1        Untuk mengetahui proses pengalihan Kepala Pemerintahan dari Soeharto ke B.J. Habibie
1.3.2        Untuk mengetahui kebijakan-kebijakan pada masa pemerintahan B.J. Habibie di Era Reformasi
1.3.3        Untuk mengetahui keadaan sosial di masa Habibie
1.3.4        Untuk mengetahui berakhirnya masa pemerintahan B.J. Habibie

1.4        Metodologi
Metode yang kami gunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode study kepustakaan. Yaitu suatu usaha pengumpulan informasi dengan menggunakan buku–buku  saja.
 
BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Proses Pengalihan Kepala Pemerintahan dari Soeharto ke B.J. Habibie
Berawal dari dampak krisis ekonomi di tahun 1997 yang melanda Kawasan Asia dan berdampak sangat luas bagi perekonomian di Indonesia. Nilai tukar rupiah yang merosot tajam pada bulan Juli 1997, membuat rupiah semakin terpuruk. Sebagai dampaknya hampir semua perusahaan modern di Indonesia bangkrut, yang diikuti PHK pekerja-pekerjanya, sehingga angka pengangguran menjadi meningkat.
Krisis ini juga berimbas langsung pada sektor moneter, terutama melalui penutupan beberapa bank yang mengalami kredit bermasalah dan krisis likuiditas, sehingga perbankan nasional menjadi berantakan. Hal inilah yang memunculkan krisis kepercayaan dari investor, serta pelarian modal ke luar negeri.
Kenaikan angka kemiskinan yang melonjak pesat, merupakan dampak krisis ekonomi di Indonesia, daya beli masyarakat desa maupun kota semakin menurun, sehingga memicu rawan pangan dan kekurangan gizi. Di sektor kesehatan, melemahnya nilai tukar rupiah menyebabkan kenaikan biaya medis, baik harga obat-obatan, vaksin, fasilitas kesehatan yang berakibat keadaan masyarakat semakin terjepit.
Didorong oleh kondisi yang makin parah, pada bulan Oktober 1997 pemerintah meminta bantuan IMF (International Monetary Fund) untuk memperkuat sektor finansial, pengetatan kebijakan viskal dan penyesuaian struktural perbankan. Akan tetapi, pengaruh bantuan IMF sangatlah kecil dalam membantu krisis di Indonesia. Beberapa kebijakan seperti kebijakan fiskal dan kebijakan likuidasi. Dimana kebijakan fiskal bertujuan untuk mempertahankan nilai tukar sedangkan kebijakan likuidasi bertujuan untuk membantu bank-bank yang bemasalah. Kebijakan ini menerapkan standar kecukupan modal dengan mengusahakan rekapitulasi perbankan. Namun pada kenyataannya kebijakan-kebijakan ini dilakukan tanpa hasil yang berarti, malah IMF-lah yang disalahkan karena justru membuat pekonomian Indonesia lebih parah selama krisis.

Kebijakan-kebijakan yang dibuat untuk mengatasi krisis yang dilakukan oleh pemerintah ternyata tidak mampu memulihkan perekonomian, dimana harga-harga bahan kebutuhan pokok tetap mengalami peningkatan. Karena itulah masyarakat menilai pemerintah tidak berhasil dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan yang dibuat. Hal inilah yang membuat melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Rasa ketidakpercayaan ini berakibat pada aksi demo mahasiswa di awal Maret 1998 yang menuntut pemerintah menurunkan harga-harga barang dan menindaklanjuti pelaku-pelaku yang menimbun sembako.
Banyaknya permasalahan besar yang dihadapi bangsa sebagai akibat krisis ekonomi yang berlarut-larut, mahasiswa melihat bahwa upaya penaggulangan tidak dilakukan dengan serius. Hal ini tampak dari penolakan mahasiswa terhadap pidato pertanggung jawaban Presiden Soeharto di depan Sidang DPR/MPR 1998, dimana presiden sama sekali tidak memperlihatkan rasa tanggung jawab atas musibah yang menimpa tanah air. Kemudian mahasiswa melontarkan isu atau tuntutan mengenai pembubaran Kabinet Pembangunan VII yang dinilai pengangkatan menterinya tidak profesional dan penuh dengan muatan politik yang berbau Nepotisme dan Koncoisme, seperti penunjukan Putri Pak Harto, Ny. Siti Hardianto Rukmana (Tutut) sebagai Menteri Sosial, kehadiran Bob Hasan dalam kabinet menunjukkan ketidakprofesionalan kabinet, dan penunjukan Wiranto Arismunanjar sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sangat mengecewakan mahasiswa serta beberapa nama menteri yang dinilai dekat dengan Tutut.
Puncak dari tuntutan mahasiswa agar Presiden Soeharto turun dari jabatan terjadi pada tanggal 12 Mei 1998 di Kampus Trisakti yang dikenal dengan Insiden Trisakti. Berawal dari aksi keprihatinan atas musibah bangsa dan mahasiswa berusaha secara damai keluar kampus menuju Gedung DPR/MPR untuk menyampaikan aspirasinya tetapi niat itu ditolak aparat keamanan dan memaksa mereka kembali ke kampus. Tiba-tiba situasi berubah menjadi kekacauan dan aparat melepaskan tembakan. Akibatnya empat mahasiswa Trisakti tewas tertembak peluru tajam aparat keamanan. Keesokan harinya, 13 Mei 1998 mahasiswa di kampus-kampus menggelar aksi keprihatinan. Pada hari yang sama, siang harinya terjadi kerusuhan massal berupa aksi pengerusakan dan pembakaran fasilitas umum dengan disertai aksi penjarahan, perampokan dan pelecehan seksual terhadap wanita etnis tertentu di Jakarta dan sekitarnya. Aksi kerusuhan berlangsung sampai tanggal 15 Mei 1998, yang memakan korban meninggal samapi 1218 orang, itupun belum secara keseluruhan.
Pada tanggal 18 Mei 1998 sampai 22 Mei 1998 ribuan mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR dengan tuntutan mengadakan Sidang Istimewa dengan agenda mengganti Soeharto. Upaya Presiden Soeharto untuk meredam tuntutan mahasiswa dan masyarakat adalah dengan membentuk Komite Reformasi. Dimana Komite ini bertugas melaksanakan dan menyerap aspirasi masyarakat untuk melaksanakan Reformasi. Akan tetapi terjadi penolakan 14 Menteri yang tidak bersedia untuk duduk dalam susunan jabatan Komite Reformasi hasil Reshuffle Kabinet Pembangunan VII, dengan penolakan itu, membuat posisi presiden terpojok secara politik disamping sebelumnya ada desakan Ketua DPR Harmoko agar Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden. Situasi ini membuat Soeharto memutuskan untuk berhenti karena desakan masyarakat yang menuntut beliau mundur sangatlah besar dan secara politik dukungan sudah tidak ada.
Pada pagi harinya, tanggal 21 Mei 1998 di Istana Merdeka Jakarta, Presiden Soeharto menyatakan dirinya berhenti dari jabatan Presiden RI, lewat pidatonya dihadapan wartawan dalam dan luar negeri.
Usai Presiden Soeharto mengucapkan pidatonya, Wapres B.J. Habibie langsung diangkat sumpahnya menjadi Presiden RI ketiga dihadapan Pimpinan Mahkamah Agung, yang disaksikan oleh Ketua DPR dan Wakil-Wakil Ketua DPR. Teriakan-teriakan kemenangan atas peristiwa bersejarah itu disambut dengan haru-biru para mahasiswa di Gedung DPR/MPR. Suasana kemenangan itu sempat mendinginkan suasana yang sebelumnya panas dengan hujatan dan makian lengsernya Soeharto, akan tetapi tuntutan agar Soeharto mengembalikan uang rakyat mulai berkumandang.
Naiknya B.J. Habibie menggantikan Soeharto sebagai Presiden RI ketiga mengundang perdebatan hukum dan kontroversial, karena Mantan Presiden Soeharto menyerahkan secara sepihak kekuasaan kepada Habibie. Dikalangan mahasiswa sikap atas pelantikan Habibie sebagai presiden terbagi atas tiga kelompok, yaitu: pertama, menolak Habibie karena merupakan produk Orde Baru; kedua, bersikap netral karena pada saat itu tidak ada pemimpin negara yang diterima semua kalangan sementara jabatan presiden tidak boleh kosong; ketiga, mahasiswa berpendapat bahwa pengalihan kekuasaan ke Habibie adalah sah dan konstitusional.
Pada tanggal 22 Mei 1998, Presiden B.J. Habibie mengumumkan susunan kabinet baru, yaitu Kabinet Reformasi Pembangunan, dimana seiring dengan diumumkannya susunan kabinet yang baru, berarti presiden harus membubarkan Kabinet Pembangunan VII. Akhirnya gerakan Reformasi yang dipelopori mahasiswa mampu menumbangkan kekuasaan Orde Baru dan Era Reformasi mulai berjalan di Indonesia, di bawah Pemerintahan B.J. Habibie. Lima isu-isu besar yang dihapai Habibie :
1.      Masa depan refpormasi
2.      Masa depan ABRI
3.      Masa depan daerah-daerah yang ingin melepaskan diri dari Indonesia.
4.      Masa depan Soeharto keluarganya, kekayaannya dan kroni-kroninya
5.      Masa depan perekonomian dan kesejahteraan rakyat.
17 bulan kemudian isu pertama menunjukkan perkembangan positif. Isu ke dua mengarah pada  pengurangan peranan militer di bidang politik. Isu ketiga terselesaikan dalam konteks Timor-Timur namun tidak pada daerah lain, isu ke empat belum terselesaikan dan isu kelima tetap tidak terpecahkan.
Habibie memulai jabatannya dengan kepercayaan rendah dari aktivis mahasiswa, militer, sayap politik utama, investor luar negeri dan perusahaan internasional.
 Kondisi saat Habibie memimpin perekonomian sedang dalam keadaan terpuruk, inflansi ditargetkan 80% untuk satu tahun berjalan. Indonesia sedang memasuki kekurangan panen akibat badai El NiH’o. Perusahaan besar seperti Simpati Air, PT Astra Internasional tidak beroperasi lagi. Nilai tukar rupiah berada di bawah Rp.10000/$ bahkan mencapai lepel Rp 15000-17000/$, 113 juta orang Indonesia ( 56% dari penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan).
2.2    Kebijakan-Kebijakan Pada Masa Pemerintahan B.J. Habibie di Era Reformasi
Setelah Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998, maka pada pagi itu juga, Wakil Presiden B.J. Habibie dilantik dihadapan pimpinan Mahkamah Agung  menjadi Presiden Republik Indonesia ketiga di Istana Negara. Dengan berhentinya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia, maka sejak saat itu Kabinet Pembangunan VII dinyatakan demisioner (tidak aktif).
Selanjutnya tanggal 22 Mei 1998 pukul 10.30 WIB, kesempatan pertama Habibie untuk meningkatkan legitimasinya yaitu dengan mengumumkan susunan kabinet baru yang diberi nama Kabinet Reformasi Pembangunan (berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 122 / M Tahun 1998) di Istana Merdeka. Dengan Keputusan Presiden tersebut di atas, Presiden Habibie memberhentikan dengan hormat para Menteri Negara pada Kabinet Pembangunan VII. Kabinet Reformasi Pembangunan ini terdiri dari 36 Menteri yaitu 4 Menteri Negara dengan tugas sebagai Menteri Koordinator, 20 Menteri Negara yang memimpin Departemen, 12 Menteri Negara yang bertugas menangani bidang tertentu. Sebanyak 20 Menteri diantaranya adalah muka lama dari Kabinet Pembangunan VII, dan hanya 16 Menteri baru, yaitu Syarwan Hamid, Yunus Yosfiah, Bambang Subianto, Soleh Solahuddin, Muslimin Nasution, Marzuki Usman, Adi Sasono, Fahmi Idris, Malik Fajar, Boediono, Zuhal, A.M. Syaefuddin, Ida Bagus Oka, Hamzah Haz, Hasan Basri Durin, dan Panangian Siregar.
Kabinet ini mencerminkan suatu sinergi dari semua unsur-unsur kekuatan bangsa yang terdiri dari berbagai unsur kekuatan sosial politik dalam masyarakat. Hal yang berbeda dari sebelumnya, jabatan Gubernur Bank Indonesia tidak lagi dimasukkan di dalam susunan Kabinet. Karena Bank Indonesia, kata Presiden harus mempunyai kedudukan yang khusus dalam perekonomian, bebas dari pengaruh pemerintah dan pihak manapun berdasarkan Undang-Undang.
Pada tanggal 23 Mei 1998 pagi, Presiden Habibie melantik menteri-menteri Kabinet Reformasi Pembangunan. Presiden Habibie mengatakan bahwa Kabinet Reformasi Pembangunan disusun untuk melaksanakan tugas pokok reformasi total terhadap kehidupan ekonomi, politik dan hukum. Kabinet dalam waktu yang sesingkat-singkatnya akan mengambil kebijakan dan langkah-langkah pro aktif untuk mengembalikan roda pembangunan yang dalam beberapa bidang telah mengalami hambatan yang merugikan rakyat.
Kebijakan-kebijakan pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie
v   Pada bidang politik
Ada berbagai langkah-langkah kebijakan yang dilaksanakan pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie setelah terbentuknya Kabinet Reformasi Pembangunan. Kebijakan politik yang diambil yaitu: dengan dibebaskannya para tahanan politik pada masa Orde Baru, peningkatan kebebasan pers, pembentukan parpol dan percepatan Pemilu dari tahun 2003 ke tahun 1999, penyelesaian masalah Tomor-Timur, pengusutan kekayaan Soeharto dan kroni-kroninya, pemberian gelar Pahlawan Reformasi bagi korban Trisakti.
a)      Pembebasan Tahanan Politik
Secara umum tindakan pembebasan tahanan politik meningkatkan legitimasi Habibie baik di dalam maupun di luar negeri. Hal ini terlihat dengan diberikannya amnesti dan abolisi yang merupakan langkah penting menuju keterbukaan dan rekonsiliasi. Diantara yang dibebaskan tahanan politik kaum separatis dan tokoh-tokoh tua mantan PKI,  yang telah ditahan lebih dari 30 tahun. Amnesti diberikan kepada Mohammad Sanusi dan orang-orang lain yang ditahan setelah Insiden Tanjung Priok.
Selain tokoh itu tokoh aktivis petisi 50 (kelompok yang sebagian besar terdiri dari mantan jendral yang menuduh Soeharto melanggar perinsip Pancasila dan Dwi Fungsi ABRI).
            Dr Sri Bintang Pamungkas, ketua Partai PUDI dan Dr Mochatar Pakpahan ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia dan K. H Abdurrahman Wahid merupakan segelintir dari tokoh-tokoh yang dibebaskan Habibie. Selain itu Habibie mencabut Undang-Undang Subversi dan menyatakan mendukung budaya oposisi serta melakukan pendekatan kepada mereka yang selama ini menentang Orde Baru.


b)      Kebebasan Pers
Dalam hal ini, pemerintah memberikan kebebasan bagi pers di dalam pemberitaannya, sehingga semasa pemerintahan Habibie ini, banyak sekali bermunculan media massa. Demikian pula kebebasan pers ini dilengkapi pula oleh kebebasan berasosiasi organisasi pers sehingga organisasi alternatif seperti AJI (Asosiasi Jurnalis Independen) dapat melakukan kegiatannya. Sejauh ini tidak ada pembredelan-pembredelan terhadap media tidak seperti pada masa Orde Baru. Pers Indonesia dalam era pasca-Soeharto memang memperoleh kebebasan yang amat lebar, pemberitaan yang menyangkut sisi positif dan negatif kebijakan pemerintah sudah tidak lagi hal yang dianggap tabu, yang seringkali sulit ditemukan batasannya. Bahkan seorang pengamat Indonesia dari Ohio State University, William Liddle mengaku sempat shock menyaksikan isi berita televisi baik swasta maupun pemerintah dan membaca isi koran di Jakarta, yang kesemuanya seolah-olah menampilkan kebebasan dalam penyampaian berita, dimana hal seperti ini tidak pernah dijumpai sebelumnya pada saat kekuasaan Orde Baru.
Cara Habibie memberikan kebebasan pada Pers adalah dengan mencabut SIUPP.
c)      Pembentukan Parpol dan Percepatan pemilu dari tahun 2003 ke tahun 1999
Presiden RI ketiga ini melakukan perubahan dibidang politik lainnya diantaranya mengeluarkan UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu, UU No. 4 Tahun 1999 tentang MPR dan DPR.
Itulah sebabnya setahun setelah reformasi Pemilihan Umum dilaksanakan bahkan menjelang Pemilu 1999, Partai Politik yang terdaftar mencapai 141 dan setelah diverifikasi oleh Tim 11 Komisi Pemilihan Umum menjadi sebanyak 98 partai, namun yang memenuhi syarat mengikuti Pemilu hanya 48 Parpol saja. Selanjutnya tanggal 7 Juni 1999, diselenggarakan Pemilihan Umum Multipartai. Dalam pemilihan ini, yang hasilnya disahkan pada tanggal 3 Agustus 1999, 10 Partai Politik terbesar pemenang Pemilu di DPR, adalah:
1).    Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) pimpinan Megawati Soekarno Putri meraih 153 kursi
2).    Partai Golkar pimpinan Akbar Tanjung meraih 120 kursi
3).    Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pimpinan Hamzah Haz meraih 58 Kursi
4).    Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pimpinan H. Matori Abdul Djalil meraih 51 kursi
5).    Partai Amanat Nasional (PAN) pimpinan Amein Rais meraih 34 Kursi
6).    Partai Bulan Bintang (PBB) pimpinan Yusril Ihza Mahendra meraih 13 kursi
7).    Partai Keadilan (PK) pimpinan Nurmahmudi Ismail meraih 7 kursi
8).    Partai Damai Kasih Bangsa (PDKB) pimpinan Manase Malo meraih 5 Kursi
9).    Partai Nahdlatur Ummat pimpinan Sjukron Ma’mun meraih 5 kursi
    10).  Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) pimpinan Jendral (Purn) Edi Sudradjat meraih 4 kursi
d)     Penyelesaian Masalah Timor Timur
Sejak terjadinya insident Santa Cruz, dunia Internasional memberikan tekanan berat kepada Indonesia dalam masalah hak asasi manusia di Tim-Tim. Bagi Habibie Timor-Timur adalah kerikil dalam sepatu yang merepotkan pemerintahannya, sehingga Habibie mengambil sikap pro aktif dengan menawarkan dua pilihan bagi penyelesaian Timor-Timur yaitu di satu pihak memberikan setatus khusus dengan otonomi luas dan dilain pihak memisahkan diri dari RI. Otonomi luas  berarti diberikan kewenangan atas berbagai bidang seperti : politik ekonomi budaya dan lain-lain kecuali dalam hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan serta moneter dan fiskal. Sedangkan memisahkan diri berarti secara demokratis dan konstitusional serta secara terhorman dan damai lepas dari NKRI. 
Sebulan menjabat sebagai Presiden habibie telah membebaskan tahanan politik Timor-Timur, seperti Xanana Gusmao dan Ramos Horta.
Sementara itu di Dili pada tanggal 21 April 1999, kelompok pro kemerdekaan dan pro intergrasi menandatangani kesepakatan damai yang disaksikan oleh Panglima TNI Wiranto, Wakil Ketua Komnas HAM  Djoko Soegianto dan Uskup Baucau Mgr. Basilio do Nascimento. Tanggal 5 Mei 1999 di New York Menlu Ali Alatas dan Menlu Portugal Jaime Gama disaksikan oleh Sekjen PBB Kofi Annan menandatangani kesepakan melaksanakan penentuan pendapat di Timor-Timur untuk mengetahui sikap rakyat Timor-Timur dalam memilih kedua opsi di atas. Tanggal 30 Agustus 1999 pelaksanaan penentuan pendapat di Timor-Timur berlangsung aman. Namun keesokan harinya suasana tidak menentu, kerusuhan dimana-mana. Suasana semakin bertambah buruk setelah hasil penentuan pendapat diumumkan pada tanggal 4 September 1999 yang menyebutkan bahwa sekitar 78,5 % rakyat Timor-Timur memilih merdeka. Pada awalnya Presiden Habibie berkeyakinan bahwa rakyat Timor-Timur lebih memilih opsi pertama, namun kenyataannya keyakinan itu salah, dimana sejarah mencatat bahwa sebagian besar rakyat Timor-Timur memilih lepas dari NKRI. Lepasnya Timor-Timur dari NKRI berdampak pada daerah lain yang juga ingin melepaskan diri dari NKRI seperti tuntutan dari GAM di Aceh dan OPM di Irian Jaya, selain itu Pemerintah RI harus menanggung gelombang pengungsi Timor-Timur yang pro Indonesia di daerah perbatasan yaitu di Atambua. Masalah Timor-Timur tidaklah sesederhana seperti yang diperkirakan Habibie karena adanya bentrokan senjata antara kelompok pro dan kontra kemerdekaan di mana kelompok kontra ini masuk ke dalam kelompok militan yang melakukan teror pembunuhan dan pembakaran pada warga sipil. Tiga pastor yang tewas adalah pastor Hilario, Fransisco, dan dewanto. Situasi yang tidak aman di Tim-Tim memaksa ribuan penduduk mengungsi ke Timor Barat, ketidak mampuan Indonesia mencegah teror, menciptakan keamanan mendorong Indonesia harus menerima pasukan internasional.
e)      Pengusutan Kekayaan Soeharto dan Kroni-kroninya
Mengenai masalah KKN, terutama yang melibatkan Mantan Presiden Soeharto pemerintah dinilai tidak serius menanganinya dimana proses untuk mengadili Soeharto berjalan sangat lambat. Bahkan, pemerintah dianggap gagal dalam melaksanakan Tap MPR No. XI / MPR / 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, terutama mengenai pengusutan kekayaan Mantan Presiden Soeharto, keluarga dan kroni-kroninya. Padahal mengenai hal ini, Presiden Habibie - dengan Instruksi Presiden No. 30 / 1998 tanggal 2 Desember 1998 – telah mengintruksikan Jaksa Agung Baru, Andi Ghalib segera mengambil tindakan hukum memeriksa Mantan Presiden Soeharto yang diduga telah melakukan praktik KKN. Namun hasilnya tidak memuaskan karena pada tanggal 11 Oktober 1999, pejabat Jaksa Agung Ismudjoko mengeluarkan SP3, yang menyatakan bahwa penyidikan terhadap Soeharto yang berkaitan dengan masalah dana yayasan dihentikan. Alasannya, Kejagung tidak menemukan cukup bukti untuk melanjutkan penyidikan, kecuali menemukan bukti-bukti baru. Sedangkan dengan kasus lainnya tidak ada kejelasan.
Bersumber dari masalah di atas, yaitu pemerintah dinilai gagal dalam melaksanakan agenda Reformasi untuk memeriksa harta Soeharto dan mengadilinya. Hal ini berdampak pada aksi demontrasi saat Sidang Istimewa MPR tanggal 10-13 Nopember 1998, dan aksi ini mengakibatkan bentrokan antara mahasiswa dengan aparat. Parahnya pada saat penutupan Sidang Istimewa MPR, Jumat (13/11/1998) malam. Rangkaian penembakan membabi-buta berlangsung sejak pukul 15.45 WIB sampai tengah malam. Darah berceceran di kawasan Semanggi, yang jaraknya hanya satu kilometer dari tempat wakil rakyat bersidang. Sampai sabtu dini hari, tercatat lima mahasiswa tewas dan 253 mahasiswa luka-luka. Karena banyaknya korban akibat bentrokan di kawasan Semanggi maka bentrokan ini diberi nama ”Semanggi Berdarah” atau ”Tragedi Semanggi”.                                                                                                                                   
f)       Pemberian Gelar Pahlawan Reformasi bagi Korban Trisakti
Pemberian gelar Pahlawan Reformasi pada para mahasiswa korban Trisakti yang menuntut lengsernya Soeharto pada tanggal 12 Mei 1998 merupakan hal positif yang dianugrahkan oleh pemerintahan Habibie, dimana penghargaan ini mampu melegitimasi Habibie sebagai bentuk penghormatan kepada perjuangan dan pengorbanan mahasiswa sebagai pelopor gerakan Reformasi.
v   Pada Bidang Ekonomi
Di dalam pemulihan ekonomi, secara signifikan pemerintah berhasil menekan laju inflasi dan gejolak moneter dibanding saat awal terjadinya krisis. Namun langkah dalam kebijakan ekonomi belum sepenuhnya menggembirakan karena dianggap tidak mjempunyai kebijakan yang kongkrit dan sistematis seperti sektor riil belum pulih. Di sisi lain, banyaknya kasus penyelewengan dana negara dan bantuan luar negeri membuat Indonesia kehilangan momentum pemulihan ekonomi. Pada tanggal 21 Agustus 1998 pemerintah membekukan operasional Bank Umum Nasional, Bank Modern, dan Bank Dagang Nasional Indonesia. Kemudian di awal tahun selanjutnya kembali pemerintah melikuidasi 38 bank swasta, 7 bank diambil-alih pemerintah dan 9 bank mengikuti program rekapitulasi.
Untuk masalah distribusi sembako utamanya minyak goreng dan beras, dianggap kebijakan yang gagal. Hal ini nampak dari tetap meningkatnya harga beras walaupun telah dilakukan operasi pasar, ditemui juga penyelundupan beras keluar negeri dan penimbunan beras. 
v   Pada Bidang Manajemen Internal ABRI
Pada masa transisi di bawah Presiden B.J. Habibie, banyak perubahan-perubahan penting terjadi dalam tubuh ABRI, terutama dalam tataran konsep dan organisatornya.
Pertimbangan mendasar yang melatarbelakangi keputusan politik dan akademis reformasi internal TNI, antara lain:
-     Prediksi tantangan TNI ke depan di abad XXI begitu besar, komplek dan multidimensional, atas dasar itu TNI harus segera menyesuaikan diri.
-     TNI senantiasa harus mau dan mampu mendengar serta merespon aspirasi rakyat.
-     TNI mengakui secara jujur, jernih dan objektif, sebagai  komponen bangsa yang lainnya, bahwa di masa lalu ada kekurangan dan distorsi sebagai konsekuensi logis dari format politik Orba
ABRI telah melakukan kebijakan-kebijakan sebagai langkah perubahan politik internal, yang berlaku tanggal 1 April 1999. Kebijakan tersebut antara lain: pemisahan POLRI dari ABRI, Perubahan Stat Sosial Politik menjadi Staf Teritorial, Likuidasi Staf Karyawan, Pengurangan Fraksi ABRI di DPR, DPRD I/II, pemutusan hubungan organisatoris dengan partai Golkar dan mengambil jarak yang sama dengan parpol yang ada, kometmen dan netralitas ABRI dalam Pemilu dan perubahan Staf Sospol menjadi komsos serta pembubaran Bakorstanas dan Bakorstanasda.
Perubahan di atas dipandang positif oleh berbagai kalangan sebagai upaya reaktif ABRI terhadap tuntutan dan gugatan dari masyarakat, khususnya tentang persoalan eksis peran Sospol ABRI yang diimplementasikan dari doktrin Dwi Fungsi ABRI.
2.3 Kadaan Sosial Di Masa Habibie
            Kerusuhan antar kelompok yang sudah bermunculan sejak tahun 90-an semakin meluas dan brutal, konflik antar kelompok sering terkait dengan agama seperti di Purworejo juni 1998 kaum muslim menyerang lima gereja, di Jember adanya perusakan terhadap toko-toko milik cina, di Cilacap muncul kerusuhan anti cina, adanya teror ninja bertopeng melanda Jawa Timur dari malang sampai Banyuangi. Isu santet menghantui masyarakat kemudian di daerah-daerah yang ingin melepaskan diri seperti Aceh, begitu juga dengan Papua semakin keras keinginan membebaskan diri. Juli 1998 OPM mengibarkan bendera bintang kejora sehingga mendapatkan perlawanan fisik dari TNI.  

2.4. Berakhirnya Masa Pemerintahan B.J. Habibie
Dengan mundurnya Presiden Soeharto dari jabatan presiden pada tanggal 21 mei 1998, maka Wakil Presiden B.J. Habibie  menggantikan kedudukannya sebagai presiden. Pelimpahan ini memunculkan reaksi pro dan kontra dalam masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa legitimasi pemerintahan B.J. Habibie sangat lemah, karena keberadaan Habibie dianggap sebagai suatu paket warisan pemerintahan Soeharto. Bahkan beberapa kolompok menuntut pembentukan pemerintahan transisi. Hal lain  yang melemahkan legitimasi Habibie dalam memimpin pemerintahan ialah ia tidak dipilih secara luber dan jurdil sebagai presiden dan merupakan satu paket pemilihan pola musyawarah mufakat dengan Soeharto.
Selain itu, beberapa tokoh memberi komentar pemerintahan Habibie sebagai ”pemerintahan transisi” (Nurcholis Majid). ”Belum lepas dari bayang-bayang Soeharto” (Amien Rais), ”Melakukan reformasi hanya pada kulitnya saja” dan ”perpanjangan rezim mantan Presiden Soeharto” (Megawati). Komentar-komentar tersebut makin melemahkan legitimasi Habibie sebagai presiden.
Meskipun terdapat berbagai kemajuan dan keberhasilan yang dicapai oleh pemerintahan Habibie. Dimana sejak Kabinet Reformasi Pembangunan dibentuk, seperti penyelenggaraan Sidang Istimewa MPR, penyelenggaraan pemilu dan reformasi di bidang politik, sosial, hukum, dan ekonomi.
Di tengah-tengah upaya pemerintahan Habibie memenuhi tuntutan reformasi, pemerintah Habibie dituduh melakukan tindakan yang bertentangan dengan kesepakatan MPR mengenai masalah Timor-Timur. Pemerintah dianggap tidak berkonsultasi terlebih dahulu dengan DPR/MPR sebelum menawarkan opsi kedua kepada masyarakat Timor-Timur. Dalam jajak pendapat terdapat dua opsi yang ditawarkan di Indonesia di bawah Presiden B.J. Habibie, yaitu: otonomi luas bagi Timor-Timur dan kemerdekaan bagi Timor-Timur. Akhirnya tanggal 30 Agustus 1999 pelaksanaan penentuan pendapat di Timor-Timur berlangsung aman dan dimenangkan oleh kelompok Pro Kemerdekaan yang berarti Timor-Timur lepas dari wilayah NKRI. Masalah itu tidak berhenti dengan lepasnya Timor-Timur, setelah itu muncul tuntutan dari dunia Internasional mengenai masalah pelanggaran HAM yang meminta pertanggungjawaban militer Indonesia sebagai penanggungjawab keamanan pasca jajak pendapat. Hal ini mencoreng Indonesia di Dunia Internasional.
Selain kasus pelanggaran HAM di Timor-Timur tersebut, terjadi kasus yang sama seperti di Aceh melalui Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Irian Jaya  lewat Organisasi Papua Merdeka (OPM), dengan kelompok separatisnya yang menuntut kemerdekaan dari wilayah Republik Indonesia.
Pada tanggal 1-21 Oktober 1999, MPR mengadakan Sidang Umum. Dalam suasana Sidang Umum MPR yang digelar dibawah pimpinan Ketua MPR Amien Rais, tanggal 14 Oktober 1999 Presiden Habibie menyampaikan pidato pertanggungjawabannya di depan sidang dan terjadi penolakan terhadap pertanggungjawaban presiden sebagai Mandataris MPR lewat Fraksi PDI-Perjuangan, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia dan Fraksi Demokrasi Kasih Bangsa. Pada umumnya, masalah-masalah yang dipersoalkan oleh Fraksi-fraksi tersebut adalah masalah Timor-Timur, KKN termasukan pengusutan kekayaan Soeharto, dan masalah HAM. Sementara itu, di luar Gedung DPR/MPR yang sedang bersidang, mahasiswa dan rakyat yang anti Habibie bentrok dengan aparat keamanan. Mereka menolak pertanggungjawaban Habibie, karena Habibie dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Rezim Orba.
Kemudian pada tanggal 20 Oktober 1999, Ketua MPR Amien Rais menutup Rapat Paripurna sambil mengatakan, ”dengan demikian pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie ditolak”. Pada hari yang sama Presiden habibie mengatakan bahwa dirinya mengundurkan diri dari pencalonan presiden. Habibie juga iklas terhadap penolakan pertanggungjawabannya oleh MPR. Menyusul penolakan MPR terhadap pidato pertanggungjawaban Presiden Habibie dan pengunduran Habibie dalam bursa calon presiden, memunculkan dua calon kuat sebagai presiden, yaitu Megawati dan Abdurrahman Wahid semakin solid, setelah calon PresidenYusril Ihza Mahendra dari Fraksi Partai Bulan Bintang mengundurkan diri melalui voting, Gus Dur terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia keempat dan dilantik dengan Ketetapan MPR No. VII/MPR/1999 untuk masa bakti 1999-2004. Tanggal 21 Oktober 1999 Megawati terpilih menjadi Wakil Presiden RI dengan Ketetapan MPR No. VIII/MPR/1999 mendampingi Presiden Abdurrahman Wahid. Terpilihnya Abdurrahman Wahid dan Megawati sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 1999-2004 menjadi akhir pemerintahan Presiden Habibie dengan TAP MPR No. III/MPR/1999 tentang Pertanggungjawaban Presiden RI B.J. Habibie.
 
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Tanggal 21 Mei 1998 di Istana Merdeka Jakarta, Presiden Soeharto menyatakan dirinya berhenti dari jabatan Presiden RI, lewat pidatonya dihadapan wartawan dalam dan luar negeri. Usai Presiden Soeharto mengucapkan pidatonya, Wapres B.J. Habibie langsung diangkat sumpahnya menjadi Presiden RI Ketiga dihadapan Pimpinan Mahkamah Agung, yang disaksikan oleh Ketua DPR dan Wakil-Wakil Ketua DPR. Teriakan-teriakan kemenangan atas peristiwa bersejarah itu disambut dengan haru-biru para mahasiswa di Gedung DPR/MPR.
Naiknya B.J. Habibie menggantikan Soeharto sebagai Presiden RI ketiga mengundang perdebatan hukum dan kontroversial, karena Mantan Presiden Soeharto menyerahkan secara sepihak kekuasaan kepada Habibie. Meskipun demikian pada tanggal 22 Mei 1998 pukul 10.30 WIB, kesempatan pertama Habibie untuk meningkatkan legitimasinya yaitu dengan mengumumkan susunan kabinet baru yang diberi nama Kabinet Reformasi Pembangunan (berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 122 / M Tahun 1998) di Istana Merdeka. Dengan Keputusan Presiden tersebut di atas, Presiden Habibie memberhentikan dengan hormat para Menteri Negara pada Kabinet Pembangunan VII. Habibie memimpin Indonesia dengan sedikit kepercayaan, ia memimpin Indonesia dalam keadaan jatuh.
Ada berbagai langkah-langkah kebijakan yang dilaksanakan pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie setelah terbentuknya Kabinet Reformasi Pembangunan, antara lain: kebijakan di bidang politik, kebijakan pada bidang ekonomi, dan kebijakan pada bidang Manajemen Internal ABRI.
Di tengah-tengah upaya pemerintahan Habibie memenuhi tuntutan reformasi, pemerintah Habibie dituduh melakukan tindakan yang bertentangan dengan kesepakatan MPR mengenai masalah Timor-Timur.
Pada tanggal 14 Oktober 1999 Presiden Habibie menyampaikan pidato pertanggungjawabannya di depan Sidang Umum MPR namun terjadi penolakan terhadap pertanggungjawaban presiden karena Pemerintahan Habibie dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Rezim Orba. Kemudian pada tanggal 20 Oktober 1999, Ketua MPR Amien Rais menutup Rapat Paripurna sambil mengatakan, ”dengan demikian pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie ditolak”. Pada hari yang sama Presiden habibie mengatakan bahwa dirinya mengundurkan diri dari pencalonan presiden.

3.2. Saran
Sebaiknya kita sebagai generasi muda janganlah cepat mengambil tindakan yang dapat merugikan semua kalangan seperti tawuran atau demo karena semua yang kita lakukan haruslah berdasarkan akal sehat sehingga apa kita perbuat tidak sampai memakan korban jiwa. Dan bagi pemerintah atau aparat janganlah cepat-cepat mengambil tindakan seperti mengeluarkan senjata (pistol) apabila masyarakat atau mahasiswa yang melakukan demo. Sebaiknya ajaklah mereka berunding dan mencari jalan keluar yang lebih baik.
 

DAFTAR PUSTAKA

Ricklefs, M.C.2005. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi.

Simanjuntak.S.H. 2003.Kabinet-Kabinet Republik Indonesia. Jakatra: PT Ikrar Mandiri Abadi

Setyohadi.tuk. 2004. Perjalan Bangsa Indonesia Dari Masa ke Masa. Bogor: Rajawali Corpuration.

Habeahan, B.P, dkk. 1999. Sidang Istimewa dan Semanggi Berdarah. Depok: Permata AD Depok

Jasmi, Khairul. 2002. Eurico Guterres: Melintas Badai Politik Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Kencana Syafiie, Inu, Azhari. 2005. Sistem Politik Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama

Mashad, Dhurorudin. 1999. Menggugat Penguasa. Jakarta. Erlangga

Soemardjan, Selo. 1999. Kisah Perjuangan Reformasi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan


Winters, Jeffrey A. 1999. Dosa-Dosa Politik: ORDE BARU. Jakarta. Djambatan

Yulianto, Arif. 2002. Hubungan Sipil Militer Di Indonesia Pasca Orba Di Tengah Pusaran Demokrasi. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada


www. History Indonesia.com

Tidak ada komentar: