Minggu, 08 Mei 2011

MASA PEMERINTAHAN HABIBIE


BAB I
PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang
Turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan pada tanggal 21 Mei 1998. Sebagai salah satu penguasa terlama di dunia, dia cukup yakin ketika ditetapkan kembali oleh MPR untuk masa jabatan yang ketujuh pada tanggal 11 Maret 1998, segala sesuatu akan berada di bawah kontrolnya. Tetapi dua bulan sesudah Soeharto mengambil sumpah, Rezim Orde Baru runtuh. Ketika mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR pada tanggal 19 Mei 1998, presiden yang sudah berumur 75 tahun ini menyaksikan legitimasinya berkurang dengan cepat dan ia ditinggalkan seorang diri.
Soeharto yang selama 32 tahun memanipulasi eksistensi DPR/MPR untuk mengokohkan kekuasaan, akhirnya didepak oleh lembaga yang sama, lewat pernyataan pers tanggal 18 Mei 1998 (pukul 15.30), oleh Ketua DPR Harmoko yang didampingi oleh Ismail Hasan Meutareum, Fatimah Achmad, Syarwan Hamid dan utusan daerah di depan wartawan dan mahasiswa menyampaikan pernyataan sebagai berikut: “Pimpinan Dewan baik ketua maupun wakil-wakil ketua mengharapkan demi persatuan dan kesatuan bangsa agar presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri”. Keterangan pers Ketua DPR itu disambut gembira oleh ribuan mahasiswa yang mendatangi Gedung DPR/MPR. Bahkan, DPR/MPR sempat pula mengeluarkan ultimatum bahwa kalau sampai Jumat (22 Mei 1998) presiden tidak mundur, MPR akan melakukan rapat dengan fraksi pada hari Senin (25 Mei 1998). Usaha terakhir Soeharto untuk mempengaruhi rakyat dengan menyampaikan pernyataan dihadapan pers pada tanggal 19 Mei 1998 bahwa selaku mandataris MPR, presiden akan mereshuffle Kabinet Pembangunan VII dengan membentuk Komite Reformasi, untuk lebih meyakinkan rakyat diprogramkan bahwa tugas komite ini akan segera menyelesaikan UU Pemilu; UU Kepartaian; UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPRD; UU Anti Monopoli; UU Anti Korupsi dan hal lainnya yang sesuai dengan tuntutan rakyat. Akan tetapi Soeharto mulai terpojok secara politik karena 14 Menteri sepakat tidak bersedia duduk  dalam Komite Reformasi tersebut. Ke-14 Menteri tersebut adalah Akbar Tanjung, A.M. Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita, Giri Suseno Hadihardjono, Haryanto Dhanutirto, Ny. Justika S. Baharsjah, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi Bambang Sumadhijo, Rahardi Ramelan, Subiakto Tjakrawerdaya, Sanyoto Sastrowardoyo, Sumahadi, Theo Sambuaga, dan Tanri Abeng.
Penolakan ini melemahkan posisi Soeharto sebagai presiden karena dukungan untuk membentuk Komite Reformasi gagal ditambah lagi banyak desakan yang menganjurkan presiden untuk mundur. Perasaan ditinggalkan, terpukul telah membuat Soeharto tidak punya pilihan lain kecuali memutuskan untuk berhenti.
Pada pagi harinya, tanggal 21 Mei 1998, pukul 09.05, di Istana Merdeka yang dihadiri Menhankam atau Pangab Wiranto, Mensesneg Saadilah Mursjid, Menteri Penerangan Alwi Dahlan, Menteri Kehakiman Muladi dan Wapres B.J. Habibie, beserta Pimpinan Mahkamah Agung, Ketua DPR, Sekjen DPR, dihadapan wartawan dalam dan luar negeri Presiden Soeharto menyampaikan pidato pengunduran dirinya sebagai presiden.
Usai Presiden Soeharto mengucapkan pidatonya Wakil Presiden B.J. Habibie langsung diangkat sumpahnya menjadi Presiden RI ketiga dihadapan pimpinan Mahkamah Agung, peristiwa bersejarah ini disambut dengan haru biru oleh masyarakat terutama para mahasiswa yang berada di Gedung DPR/MPR, akhirnya Rezim Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto berakhir dan Era Reformasi dimulai di bawah pemerintahan B.J. Habibie

1.2        Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, kami dapat merumuskan beberapa masalah, yaitu:
1.2.1        Bagaimana proses pengalihan Kepala Pemerintahan dari Soeharto ke B.J. Habibie?
1.2.2        Apa saja kebijakan-kebijakan pada masa pemerintahan B.J. Habibie di Era Reformasi?
1.2.3        Bagaimana keadaan sosial di masa Habibie?
1.2.4        Bagaimana berakhirnya masa pemerintahan B.J. Habibie?
1.3        Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu:
1.3.1        Untuk mengetahui proses pengalihan Kepala Pemerintahan dari Soeharto ke B.J. Habibie
1.3.2        Untuk mengetahui kebijakan-kebijakan pada masa pemerintahan B.J. Habibie di Era Reformasi
1.3.3        Untuk mengetahui keadaan sosial di masa Habibie
1.3.4        Untuk mengetahui berakhirnya masa pemerintahan B.J. Habibie

1.4        Metodologi
Metode yang kami gunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode study kepustakaan. Yaitu suatu usaha pengumpulan informasi dengan menggunakan buku–buku  saja.
 
BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Proses Pengalihan Kepala Pemerintahan dari Soeharto ke B.J. Habibie
Berawal dari dampak krisis ekonomi di tahun 1997 yang melanda Kawasan Asia dan berdampak sangat luas bagi perekonomian di Indonesia. Nilai tukar rupiah yang merosot tajam pada bulan Juli 1997, membuat rupiah semakin terpuruk. Sebagai dampaknya hampir semua perusahaan modern di Indonesia bangkrut, yang diikuti PHK pekerja-pekerjanya, sehingga angka pengangguran menjadi meningkat.
Krisis ini juga berimbas langsung pada sektor moneter, terutama melalui penutupan beberapa bank yang mengalami kredit bermasalah dan krisis likuiditas, sehingga perbankan nasional menjadi berantakan. Hal inilah yang memunculkan krisis kepercayaan dari investor, serta pelarian modal ke luar negeri.
Kenaikan angka kemiskinan yang melonjak pesat, merupakan dampak krisis ekonomi di Indonesia, daya beli masyarakat desa maupun kota semakin menurun, sehingga memicu rawan pangan dan kekurangan gizi. Di sektor kesehatan, melemahnya nilai tukar rupiah menyebabkan kenaikan biaya medis, baik harga obat-obatan, vaksin, fasilitas kesehatan yang berakibat keadaan masyarakat semakin terjepit.
Didorong oleh kondisi yang makin parah, pada bulan Oktober 1997 pemerintah meminta bantuan IMF (International Monetary Fund) untuk memperkuat sektor finansial, pengetatan kebijakan viskal dan penyesuaian struktural perbankan. Akan tetapi, pengaruh bantuan IMF sangatlah kecil dalam membantu krisis di Indonesia. Beberapa kebijakan seperti kebijakan fiskal dan kebijakan likuidasi. Dimana kebijakan fiskal bertujuan untuk mempertahankan nilai tukar sedangkan kebijakan likuidasi bertujuan untuk membantu bank-bank yang bemasalah. Kebijakan ini menerapkan standar kecukupan modal dengan mengusahakan rekapitulasi perbankan. Namun pada kenyataannya kebijakan-kebijakan ini dilakukan tanpa hasil yang berarti, malah IMF-lah yang disalahkan karena justru membuat pekonomian Indonesia lebih parah selama krisis.

Kebijakan-kebijakan yang dibuat untuk mengatasi krisis yang dilakukan oleh pemerintah ternyata tidak mampu memulihkan perekonomian, dimana harga-harga bahan kebutuhan pokok tetap mengalami peningkatan. Karena itulah masyarakat menilai pemerintah tidak berhasil dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan yang dibuat. Hal inilah yang membuat melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Rasa ketidakpercayaan ini berakibat pada aksi demo mahasiswa di awal Maret 1998 yang menuntut pemerintah menurunkan harga-harga barang dan menindaklanjuti pelaku-pelaku yang menimbun sembako.
Banyaknya permasalahan besar yang dihadapi bangsa sebagai akibat krisis ekonomi yang berlarut-larut, mahasiswa melihat bahwa upaya penaggulangan tidak dilakukan dengan serius. Hal ini tampak dari penolakan mahasiswa terhadap pidato pertanggung jawaban Presiden Soeharto di depan Sidang DPR/MPR 1998, dimana presiden sama sekali tidak memperlihatkan rasa tanggung jawab atas musibah yang menimpa tanah air. Kemudian mahasiswa melontarkan isu atau tuntutan mengenai pembubaran Kabinet Pembangunan VII yang dinilai pengangkatan menterinya tidak profesional dan penuh dengan muatan politik yang berbau Nepotisme dan Koncoisme, seperti penunjukan Putri Pak Harto, Ny. Siti Hardianto Rukmana (Tutut) sebagai Menteri Sosial, kehadiran Bob Hasan dalam kabinet menunjukkan ketidakprofesionalan kabinet, dan penunjukan Wiranto Arismunanjar sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sangat mengecewakan mahasiswa serta beberapa nama menteri yang dinilai dekat dengan Tutut.
Puncak dari tuntutan mahasiswa agar Presiden Soeharto turun dari jabatan terjadi pada tanggal 12 Mei 1998 di Kampus Trisakti yang dikenal dengan Insiden Trisakti. Berawal dari aksi keprihatinan atas musibah bangsa dan mahasiswa berusaha secara damai keluar kampus menuju Gedung DPR/MPR untuk menyampaikan aspirasinya tetapi niat itu ditolak aparat keamanan dan memaksa mereka kembali ke kampus. Tiba-tiba situasi berubah menjadi kekacauan dan aparat melepaskan tembakan. Akibatnya empat mahasiswa Trisakti tewas tertembak peluru tajam aparat keamanan. Keesokan harinya, 13 Mei 1998 mahasiswa di kampus-kampus menggelar aksi keprihatinan. Pada hari yang sama, siang harinya terjadi kerusuhan massal berupa aksi pengerusakan dan pembakaran fasilitas umum dengan disertai aksi penjarahan, perampokan dan pelecehan seksual terhadap wanita etnis tertentu di Jakarta dan sekitarnya. Aksi kerusuhan berlangsung sampai tanggal 15 Mei 1998, yang memakan korban meninggal samapi 1218 orang, itupun belum secara keseluruhan.
Pada tanggal 18 Mei 1998 sampai 22 Mei 1998 ribuan mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR dengan tuntutan mengadakan Sidang Istimewa dengan agenda mengganti Soeharto. Upaya Presiden Soeharto untuk meredam tuntutan mahasiswa dan masyarakat adalah dengan membentuk Komite Reformasi. Dimana Komite ini bertugas melaksanakan dan menyerap aspirasi masyarakat untuk melaksanakan Reformasi. Akan tetapi terjadi penolakan 14 Menteri yang tidak bersedia untuk duduk dalam susunan jabatan Komite Reformasi hasil Reshuffle Kabinet Pembangunan VII, dengan penolakan itu, membuat posisi presiden terpojok secara politik disamping sebelumnya ada desakan Ketua DPR Harmoko agar Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden. Situasi ini membuat Soeharto memutuskan untuk berhenti karena desakan masyarakat yang menuntut beliau mundur sangatlah besar dan secara politik dukungan sudah tidak ada.
Pada pagi harinya, tanggal 21 Mei 1998 di Istana Merdeka Jakarta, Presiden Soeharto menyatakan dirinya berhenti dari jabatan Presiden RI, lewat pidatonya dihadapan wartawan dalam dan luar negeri.
Usai Presiden Soeharto mengucapkan pidatonya, Wapres B.J. Habibie langsung diangkat sumpahnya menjadi Presiden RI ketiga dihadapan Pimpinan Mahkamah Agung, yang disaksikan oleh Ketua DPR dan Wakil-Wakil Ketua DPR. Teriakan-teriakan kemenangan atas peristiwa bersejarah itu disambut dengan haru-biru para mahasiswa di Gedung DPR/MPR. Suasana kemenangan itu sempat mendinginkan suasana yang sebelumnya panas dengan hujatan dan makian lengsernya Soeharto, akan tetapi tuntutan agar Soeharto mengembalikan uang rakyat mulai berkumandang.
Naiknya B.J. Habibie menggantikan Soeharto sebagai Presiden RI ketiga mengundang perdebatan hukum dan kontroversial, karena Mantan Presiden Soeharto menyerahkan secara sepihak kekuasaan kepada Habibie. Dikalangan mahasiswa sikap atas pelantikan Habibie sebagai presiden terbagi atas tiga kelompok, yaitu: pertama, menolak Habibie karena merupakan produk Orde Baru; kedua, bersikap netral karena pada saat itu tidak ada pemimpin negara yang diterima semua kalangan sementara jabatan presiden tidak boleh kosong; ketiga, mahasiswa berpendapat bahwa pengalihan kekuasaan ke Habibie adalah sah dan konstitusional.
Pada tanggal 22 Mei 1998, Presiden B.J. Habibie mengumumkan susunan kabinet baru, yaitu Kabinet Reformasi Pembangunan, dimana seiring dengan diumumkannya susunan kabinet yang baru, berarti presiden harus membubarkan Kabinet Pembangunan VII. Akhirnya gerakan Reformasi yang dipelopori mahasiswa mampu menumbangkan kekuasaan Orde Baru dan Era Reformasi mulai berjalan di Indonesia, di bawah Pemerintahan B.J. Habibie. Lima isu-isu besar yang dihapai Habibie :
1.      Masa depan refpormasi
2.      Masa depan ABRI
3.      Masa depan daerah-daerah yang ingin melepaskan diri dari Indonesia.
4.      Masa depan Soeharto keluarganya, kekayaannya dan kroni-kroninya
5.      Masa depan perekonomian dan kesejahteraan rakyat.
17 bulan kemudian isu pertama menunjukkan perkembangan positif. Isu ke dua mengarah pada  pengurangan peranan militer di bidang politik. Isu ketiga terselesaikan dalam konteks Timor-Timur namun tidak pada daerah lain, isu ke empat belum terselesaikan dan isu kelima tetap tidak terpecahkan.
Habibie memulai jabatannya dengan kepercayaan rendah dari aktivis mahasiswa, militer, sayap politik utama, investor luar negeri dan perusahaan internasional.
 Kondisi saat Habibie memimpin perekonomian sedang dalam keadaan terpuruk, inflansi ditargetkan 80% untuk satu tahun berjalan. Indonesia sedang memasuki kekurangan panen akibat badai El NiH’o. Perusahaan besar seperti Simpati Air, PT Astra Internasional tidak beroperasi lagi. Nilai tukar rupiah berada di bawah Rp.10000/$ bahkan mencapai lepel Rp 15000-17000/$, 113 juta orang Indonesia ( 56% dari penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan).
2.2    Kebijakan-Kebijakan Pada Masa Pemerintahan B.J. Habibie di Era Reformasi
Setelah Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998, maka pada pagi itu juga, Wakil Presiden B.J. Habibie dilantik dihadapan pimpinan Mahkamah Agung  menjadi Presiden Republik Indonesia ketiga di Istana Negara. Dengan berhentinya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia, maka sejak saat itu Kabinet Pembangunan VII dinyatakan demisioner (tidak aktif).
Selanjutnya tanggal 22 Mei 1998 pukul 10.30 WIB, kesempatan pertama Habibie untuk meningkatkan legitimasinya yaitu dengan mengumumkan susunan kabinet baru yang diberi nama Kabinet Reformasi Pembangunan (berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 122 / M Tahun 1998) di Istana Merdeka. Dengan Keputusan Presiden tersebut di atas, Presiden Habibie memberhentikan dengan hormat para Menteri Negara pada Kabinet Pembangunan VII. Kabinet Reformasi Pembangunan ini terdiri dari 36 Menteri yaitu 4 Menteri Negara dengan tugas sebagai Menteri Koordinator, 20 Menteri Negara yang memimpin Departemen, 12 Menteri Negara yang bertugas menangani bidang tertentu. Sebanyak 20 Menteri diantaranya adalah muka lama dari Kabinet Pembangunan VII, dan hanya 16 Menteri baru, yaitu Syarwan Hamid, Yunus Yosfiah, Bambang Subianto, Soleh Solahuddin, Muslimin Nasution, Marzuki Usman, Adi Sasono, Fahmi Idris, Malik Fajar, Boediono, Zuhal, A.M. Syaefuddin, Ida Bagus Oka, Hamzah Haz, Hasan Basri Durin, dan Panangian Siregar.
Kabinet ini mencerminkan suatu sinergi dari semua unsur-unsur kekuatan bangsa yang terdiri dari berbagai unsur kekuatan sosial politik dalam masyarakat. Hal yang berbeda dari sebelumnya, jabatan Gubernur Bank Indonesia tidak lagi dimasukkan di dalam susunan Kabinet. Karena Bank Indonesia, kata Presiden harus mempunyai kedudukan yang khusus dalam perekonomian, bebas dari pengaruh pemerintah dan pihak manapun berdasarkan Undang-Undang.
Pada tanggal 23 Mei 1998 pagi, Presiden Habibie melantik menteri-menteri Kabinet Reformasi Pembangunan. Presiden Habibie mengatakan bahwa Kabinet Reformasi Pembangunan disusun untuk melaksanakan tugas pokok reformasi total terhadap kehidupan ekonomi, politik dan hukum. Kabinet dalam waktu yang sesingkat-singkatnya akan mengambil kebijakan dan langkah-langkah pro aktif untuk mengembalikan roda pembangunan yang dalam beberapa bidang telah mengalami hambatan yang merugikan rakyat.
Kebijakan-kebijakan pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie
v   Pada bidang politik
Ada berbagai langkah-langkah kebijakan yang dilaksanakan pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie setelah terbentuknya Kabinet Reformasi Pembangunan. Kebijakan politik yang diambil yaitu: dengan dibebaskannya para tahanan politik pada masa Orde Baru, peningkatan kebebasan pers, pembentukan parpol dan percepatan Pemilu dari tahun 2003 ke tahun 1999, penyelesaian masalah Tomor-Timur, pengusutan kekayaan Soeharto dan kroni-kroninya, pemberian gelar Pahlawan Reformasi bagi korban Trisakti.
a)      Pembebasan Tahanan Politik
Secara umum tindakan pembebasan tahanan politik meningkatkan legitimasi Habibie baik di dalam maupun di luar negeri. Hal ini terlihat dengan diberikannya amnesti dan abolisi yang merupakan langkah penting menuju keterbukaan dan rekonsiliasi. Diantara yang dibebaskan tahanan politik kaum separatis dan tokoh-tokoh tua mantan PKI,  yang telah ditahan lebih dari 30 tahun. Amnesti diberikan kepada Mohammad Sanusi dan orang-orang lain yang ditahan setelah Insiden Tanjung Priok.
Selain tokoh itu tokoh aktivis petisi 50 (kelompok yang sebagian besar terdiri dari mantan jendral yang menuduh Soeharto melanggar perinsip Pancasila dan Dwi Fungsi ABRI).
            Dr Sri Bintang Pamungkas, ketua Partai PUDI dan Dr Mochatar Pakpahan ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia dan K. H Abdurrahman Wahid merupakan segelintir dari tokoh-tokoh yang dibebaskan Habibie. Selain itu Habibie mencabut Undang-Undang Subversi dan menyatakan mendukung budaya oposisi serta melakukan pendekatan kepada mereka yang selama ini menentang Orde Baru.


b)      Kebebasan Pers
Dalam hal ini, pemerintah memberikan kebebasan bagi pers di dalam pemberitaannya, sehingga semasa pemerintahan Habibie ini, banyak sekali bermunculan media massa. Demikian pula kebebasan pers ini dilengkapi pula oleh kebebasan berasosiasi organisasi pers sehingga organisasi alternatif seperti AJI (Asosiasi Jurnalis Independen) dapat melakukan kegiatannya. Sejauh ini tidak ada pembredelan-pembredelan terhadap media tidak seperti pada masa Orde Baru. Pers Indonesia dalam era pasca-Soeharto memang memperoleh kebebasan yang amat lebar, pemberitaan yang menyangkut sisi positif dan negatif kebijakan pemerintah sudah tidak lagi hal yang dianggap tabu, yang seringkali sulit ditemukan batasannya. Bahkan seorang pengamat Indonesia dari Ohio State University, William Liddle mengaku sempat shock menyaksikan isi berita televisi baik swasta maupun pemerintah dan membaca isi koran di Jakarta, yang kesemuanya seolah-olah menampilkan kebebasan dalam penyampaian berita, dimana hal seperti ini tidak pernah dijumpai sebelumnya pada saat kekuasaan Orde Baru.
Cara Habibie memberikan kebebasan pada Pers adalah dengan mencabut SIUPP.
c)      Pembentukan Parpol dan Percepatan pemilu dari tahun 2003 ke tahun 1999
Presiden RI ketiga ini melakukan perubahan dibidang politik lainnya diantaranya mengeluarkan UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu, UU No. 4 Tahun 1999 tentang MPR dan DPR.
Itulah sebabnya setahun setelah reformasi Pemilihan Umum dilaksanakan bahkan menjelang Pemilu 1999, Partai Politik yang terdaftar mencapai 141 dan setelah diverifikasi oleh Tim 11 Komisi Pemilihan Umum menjadi sebanyak 98 partai, namun yang memenuhi syarat mengikuti Pemilu hanya 48 Parpol saja. Selanjutnya tanggal 7 Juni 1999, diselenggarakan Pemilihan Umum Multipartai. Dalam pemilihan ini, yang hasilnya disahkan pada tanggal 3 Agustus 1999, 10 Partai Politik terbesar pemenang Pemilu di DPR, adalah:
1).    Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) pimpinan Megawati Soekarno Putri meraih 153 kursi
2).    Partai Golkar pimpinan Akbar Tanjung meraih 120 kursi
3).    Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pimpinan Hamzah Haz meraih 58 Kursi
4).    Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pimpinan H. Matori Abdul Djalil meraih 51 kursi
5).    Partai Amanat Nasional (PAN) pimpinan Amein Rais meraih 34 Kursi
6).    Partai Bulan Bintang (PBB) pimpinan Yusril Ihza Mahendra meraih 13 kursi
7).    Partai Keadilan (PK) pimpinan Nurmahmudi Ismail meraih 7 kursi
8).    Partai Damai Kasih Bangsa (PDKB) pimpinan Manase Malo meraih 5 Kursi
9).    Partai Nahdlatur Ummat pimpinan Sjukron Ma’mun meraih 5 kursi
    10).  Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) pimpinan Jendral (Purn) Edi Sudradjat meraih 4 kursi
d)     Penyelesaian Masalah Timor Timur
Sejak terjadinya insident Santa Cruz, dunia Internasional memberikan tekanan berat kepada Indonesia dalam masalah hak asasi manusia di Tim-Tim. Bagi Habibie Timor-Timur adalah kerikil dalam sepatu yang merepotkan pemerintahannya, sehingga Habibie mengambil sikap pro aktif dengan menawarkan dua pilihan bagi penyelesaian Timor-Timur yaitu di satu pihak memberikan setatus khusus dengan otonomi luas dan dilain pihak memisahkan diri dari RI. Otonomi luas  berarti diberikan kewenangan atas berbagai bidang seperti : politik ekonomi budaya dan lain-lain kecuali dalam hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan serta moneter dan fiskal. Sedangkan memisahkan diri berarti secara demokratis dan konstitusional serta secara terhorman dan damai lepas dari NKRI. 
Sebulan menjabat sebagai Presiden habibie telah membebaskan tahanan politik Timor-Timur, seperti Xanana Gusmao dan Ramos Horta.
Sementara itu di Dili pada tanggal 21 April 1999, kelompok pro kemerdekaan dan pro intergrasi menandatangani kesepakatan damai yang disaksikan oleh Panglima TNI Wiranto, Wakil Ketua Komnas HAM  Djoko Soegianto dan Uskup Baucau Mgr. Basilio do Nascimento. Tanggal 5 Mei 1999 di New York Menlu Ali Alatas dan Menlu Portugal Jaime Gama disaksikan oleh Sekjen PBB Kofi Annan menandatangani kesepakan melaksanakan penentuan pendapat di Timor-Timur untuk mengetahui sikap rakyat Timor-Timur dalam memilih kedua opsi di atas. Tanggal 30 Agustus 1999 pelaksanaan penentuan pendapat di Timor-Timur berlangsung aman. Namun keesokan harinya suasana tidak menentu, kerusuhan dimana-mana. Suasana semakin bertambah buruk setelah hasil penentuan pendapat diumumkan pada tanggal 4 September 1999 yang menyebutkan bahwa sekitar 78,5 % rakyat Timor-Timur memilih merdeka. Pada awalnya Presiden Habibie berkeyakinan bahwa rakyat Timor-Timur lebih memilih opsi pertama, namun kenyataannya keyakinan itu salah, dimana sejarah mencatat bahwa sebagian besar rakyat Timor-Timur memilih lepas dari NKRI. Lepasnya Timor-Timur dari NKRI berdampak pada daerah lain yang juga ingin melepaskan diri dari NKRI seperti tuntutan dari GAM di Aceh dan OPM di Irian Jaya, selain itu Pemerintah RI harus menanggung gelombang pengungsi Timor-Timur yang pro Indonesia di daerah perbatasan yaitu di Atambua. Masalah Timor-Timur tidaklah sesederhana seperti yang diperkirakan Habibie karena adanya bentrokan senjata antara kelompok pro dan kontra kemerdekaan di mana kelompok kontra ini masuk ke dalam kelompok militan yang melakukan teror pembunuhan dan pembakaran pada warga sipil. Tiga pastor yang tewas adalah pastor Hilario, Fransisco, dan dewanto. Situasi yang tidak aman di Tim-Tim memaksa ribuan penduduk mengungsi ke Timor Barat, ketidak mampuan Indonesia mencegah teror, menciptakan keamanan mendorong Indonesia harus menerima pasukan internasional.
e)      Pengusutan Kekayaan Soeharto dan Kroni-kroninya
Mengenai masalah KKN, terutama yang melibatkan Mantan Presiden Soeharto pemerintah dinilai tidak serius menanganinya dimana proses untuk mengadili Soeharto berjalan sangat lambat. Bahkan, pemerintah dianggap gagal dalam melaksanakan Tap MPR No. XI / MPR / 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, terutama mengenai pengusutan kekayaan Mantan Presiden Soeharto, keluarga dan kroni-kroninya. Padahal mengenai hal ini, Presiden Habibie - dengan Instruksi Presiden No. 30 / 1998 tanggal 2 Desember 1998 – telah mengintruksikan Jaksa Agung Baru, Andi Ghalib segera mengambil tindakan hukum memeriksa Mantan Presiden Soeharto yang diduga telah melakukan praktik KKN. Namun hasilnya tidak memuaskan karena pada tanggal 11 Oktober 1999, pejabat Jaksa Agung Ismudjoko mengeluarkan SP3, yang menyatakan bahwa penyidikan terhadap Soeharto yang berkaitan dengan masalah dana yayasan dihentikan. Alasannya, Kejagung tidak menemukan cukup bukti untuk melanjutkan penyidikan, kecuali menemukan bukti-bukti baru. Sedangkan dengan kasus lainnya tidak ada kejelasan.
Bersumber dari masalah di atas, yaitu pemerintah dinilai gagal dalam melaksanakan agenda Reformasi untuk memeriksa harta Soeharto dan mengadilinya. Hal ini berdampak pada aksi demontrasi saat Sidang Istimewa MPR tanggal 10-13 Nopember 1998, dan aksi ini mengakibatkan bentrokan antara mahasiswa dengan aparat. Parahnya pada saat penutupan Sidang Istimewa MPR, Jumat (13/11/1998) malam. Rangkaian penembakan membabi-buta berlangsung sejak pukul 15.45 WIB sampai tengah malam. Darah berceceran di kawasan Semanggi, yang jaraknya hanya satu kilometer dari tempat wakil rakyat bersidang. Sampai sabtu dini hari, tercatat lima mahasiswa tewas dan 253 mahasiswa luka-luka. Karena banyaknya korban akibat bentrokan di kawasan Semanggi maka bentrokan ini diberi nama ”Semanggi Berdarah” atau ”Tragedi Semanggi”.                                                                                                                                   
f)       Pemberian Gelar Pahlawan Reformasi bagi Korban Trisakti
Pemberian gelar Pahlawan Reformasi pada para mahasiswa korban Trisakti yang menuntut lengsernya Soeharto pada tanggal 12 Mei 1998 merupakan hal positif yang dianugrahkan oleh pemerintahan Habibie, dimana penghargaan ini mampu melegitimasi Habibie sebagai bentuk penghormatan kepada perjuangan dan pengorbanan mahasiswa sebagai pelopor gerakan Reformasi.
v   Pada Bidang Ekonomi
Di dalam pemulihan ekonomi, secara signifikan pemerintah berhasil menekan laju inflasi dan gejolak moneter dibanding saat awal terjadinya krisis. Namun langkah dalam kebijakan ekonomi belum sepenuhnya menggembirakan karena dianggap tidak mjempunyai kebijakan yang kongkrit dan sistematis seperti sektor riil belum pulih. Di sisi lain, banyaknya kasus penyelewengan dana negara dan bantuan luar negeri membuat Indonesia kehilangan momentum pemulihan ekonomi. Pada tanggal 21 Agustus 1998 pemerintah membekukan operasional Bank Umum Nasional, Bank Modern, dan Bank Dagang Nasional Indonesia. Kemudian di awal tahun selanjutnya kembali pemerintah melikuidasi 38 bank swasta, 7 bank diambil-alih pemerintah dan 9 bank mengikuti program rekapitulasi.
Untuk masalah distribusi sembako utamanya minyak goreng dan beras, dianggap kebijakan yang gagal. Hal ini nampak dari tetap meningkatnya harga beras walaupun telah dilakukan operasi pasar, ditemui juga penyelundupan beras keluar negeri dan penimbunan beras. 
v   Pada Bidang Manajemen Internal ABRI
Pada masa transisi di bawah Presiden B.J. Habibie, banyak perubahan-perubahan penting terjadi dalam tubuh ABRI, terutama dalam tataran konsep dan organisatornya.
Pertimbangan mendasar yang melatarbelakangi keputusan politik dan akademis reformasi internal TNI, antara lain:
-     Prediksi tantangan TNI ke depan di abad XXI begitu besar, komplek dan multidimensional, atas dasar itu TNI harus segera menyesuaikan diri.
-     TNI senantiasa harus mau dan mampu mendengar serta merespon aspirasi rakyat.
-     TNI mengakui secara jujur, jernih dan objektif, sebagai  komponen bangsa yang lainnya, bahwa di masa lalu ada kekurangan dan distorsi sebagai konsekuensi logis dari format politik Orba
ABRI telah melakukan kebijakan-kebijakan sebagai langkah perubahan politik internal, yang berlaku tanggal 1 April 1999. Kebijakan tersebut antara lain: pemisahan POLRI dari ABRI, Perubahan Stat Sosial Politik menjadi Staf Teritorial, Likuidasi Staf Karyawan, Pengurangan Fraksi ABRI di DPR, DPRD I/II, pemutusan hubungan organisatoris dengan partai Golkar dan mengambil jarak yang sama dengan parpol yang ada, kometmen dan netralitas ABRI dalam Pemilu dan perubahan Staf Sospol menjadi komsos serta pembubaran Bakorstanas dan Bakorstanasda.
Perubahan di atas dipandang positif oleh berbagai kalangan sebagai upaya reaktif ABRI terhadap tuntutan dan gugatan dari masyarakat, khususnya tentang persoalan eksis peran Sospol ABRI yang diimplementasikan dari doktrin Dwi Fungsi ABRI.
2.3 Kadaan Sosial Di Masa Habibie
            Kerusuhan antar kelompok yang sudah bermunculan sejak tahun 90-an semakin meluas dan brutal, konflik antar kelompok sering terkait dengan agama seperti di Purworejo juni 1998 kaum muslim menyerang lima gereja, di Jember adanya perusakan terhadap toko-toko milik cina, di Cilacap muncul kerusuhan anti cina, adanya teror ninja bertopeng melanda Jawa Timur dari malang sampai Banyuangi. Isu santet menghantui masyarakat kemudian di daerah-daerah yang ingin melepaskan diri seperti Aceh, begitu juga dengan Papua semakin keras keinginan membebaskan diri. Juli 1998 OPM mengibarkan bendera bintang kejora sehingga mendapatkan perlawanan fisik dari TNI.  

2.4. Berakhirnya Masa Pemerintahan B.J. Habibie
Dengan mundurnya Presiden Soeharto dari jabatan presiden pada tanggal 21 mei 1998, maka Wakil Presiden B.J. Habibie  menggantikan kedudukannya sebagai presiden. Pelimpahan ini memunculkan reaksi pro dan kontra dalam masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa legitimasi pemerintahan B.J. Habibie sangat lemah, karena keberadaan Habibie dianggap sebagai suatu paket warisan pemerintahan Soeharto. Bahkan beberapa kolompok menuntut pembentukan pemerintahan transisi. Hal lain  yang melemahkan legitimasi Habibie dalam memimpin pemerintahan ialah ia tidak dipilih secara luber dan jurdil sebagai presiden dan merupakan satu paket pemilihan pola musyawarah mufakat dengan Soeharto.
Selain itu, beberapa tokoh memberi komentar pemerintahan Habibie sebagai ”pemerintahan transisi” (Nurcholis Majid). ”Belum lepas dari bayang-bayang Soeharto” (Amien Rais), ”Melakukan reformasi hanya pada kulitnya saja” dan ”perpanjangan rezim mantan Presiden Soeharto” (Megawati). Komentar-komentar tersebut makin melemahkan legitimasi Habibie sebagai presiden.
Meskipun terdapat berbagai kemajuan dan keberhasilan yang dicapai oleh pemerintahan Habibie. Dimana sejak Kabinet Reformasi Pembangunan dibentuk, seperti penyelenggaraan Sidang Istimewa MPR, penyelenggaraan pemilu dan reformasi di bidang politik, sosial, hukum, dan ekonomi.
Di tengah-tengah upaya pemerintahan Habibie memenuhi tuntutan reformasi, pemerintah Habibie dituduh melakukan tindakan yang bertentangan dengan kesepakatan MPR mengenai masalah Timor-Timur. Pemerintah dianggap tidak berkonsultasi terlebih dahulu dengan DPR/MPR sebelum menawarkan opsi kedua kepada masyarakat Timor-Timur. Dalam jajak pendapat terdapat dua opsi yang ditawarkan di Indonesia di bawah Presiden B.J. Habibie, yaitu: otonomi luas bagi Timor-Timur dan kemerdekaan bagi Timor-Timur. Akhirnya tanggal 30 Agustus 1999 pelaksanaan penentuan pendapat di Timor-Timur berlangsung aman dan dimenangkan oleh kelompok Pro Kemerdekaan yang berarti Timor-Timur lepas dari wilayah NKRI. Masalah itu tidak berhenti dengan lepasnya Timor-Timur, setelah itu muncul tuntutan dari dunia Internasional mengenai masalah pelanggaran HAM yang meminta pertanggungjawaban militer Indonesia sebagai penanggungjawab keamanan pasca jajak pendapat. Hal ini mencoreng Indonesia di Dunia Internasional.
Selain kasus pelanggaran HAM di Timor-Timur tersebut, terjadi kasus yang sama seperti di Aceh melalui Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Irian Jaya  lewat Organisasi Papua Merdeka (OPM), dengan kelompok separatisnya yang menuntut kemerdekaan dari wilayah Republik Indonesia.
Pada tanggal 1-21 Oktober 1999, MPR mengadakan Sidang Umum. Dalam suasana Sidang Umum MPR yang digelar dibawah pimpinan Ketua MPR Amien Rais, tanggal 14 Oktober 1999 Presiden Habibie menyampaikan pidato pertanggungjawabannya di depan sidang dan terjadi penolakan terhadap pertanggungjawaban presiden sebagai Mandataris MPR lewat Fraksi PDI-Perjuangan, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia dan Fraksi Demokrasi Kasih Bangsa. Pada umumnya, masalah-masalah yang dipersoalkan oleh Fraksi-fraksi tersebut adalah masalah Timor-Timur, KKN termasukan pengusutan kekayaan Soeharto, dan masalah HAM. Sementara itu, di luar Gedung DPR/MPR yang sedang bersidang, mahasiswa dan rakyat yang anti Habibie bentrok dengan aparat keamanan. Mereka menolak pertanggungjawaban Habibie, karena Habibie dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Rezim Orba.
Kemudian pada tanggal 20 Oktober 1999, Ketua MPR Amien Rais menutup Rapat Paripurna sambil mengatakan, ”dengan demikian pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie ditolak”. Pada hari yang sama Presiden habibie mengatakan bahwa dirinya mengundurkan diri dari pencalonan presiden. Habibie juga iklas terhadap penolakan pertanggungjawabannya oleh MPR. Menyusul penolakan MPR terhadap pidato pertanggungjawaban Presiden Habibie dan pengunduran Habibie dalam bursa calon presiden, memunculkan dua calon kuat sebagai presiden, yaitu Megawati dan Abdurrahman Wahid semakin solid, setelah calon PresidenYusril Ihza Mahendra dari Fraksi Partai Bulan Bintang mengundurkan diri melalui voting, Gus Dur terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia keempat dan dilantik dengan Ketetapan MPR No. VII/MPR/1999 untuk masa bakti 1999-2004. Tanggal 21 Oktober 1999 Megawati terpilih menjadi Wakil Presiden RI dengan Ketetapan MPR No. VIII/MPR/1999 mendampingi Presiden Abdurrahman Wahid. Terpilihnya Abdurrahman Wahid dan Megawati sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 1999-2004 menjadi akhir pemerintahan Presiden Habibie dengan TAP MPR No. III/MPR/1999 tentang Pertanggungjawaban Presiden RI B.J. Habibie.
 
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Tanggal 21 Mei 1998 di Istana Merdeka Jakarta, Presiden Soeharto menyatakan dirinya berhenti dari jabatan Presiden RI, lewat pidatonya dihadapan wartawan dalam dan luar negeri. Usai Presiden Soeharto mengucapkan pidatonya, Wapres B.J. Habibie langsung diangkat sumpahnya menjadi Presiden RI Ketiga dihadapan Pimpinan Mahkamah Agung, yang disaksikan oleh Ketua DPR dan Wakil-Wakil Ketua DPR. Teriakan-teriakan kemenangan atas peristiwa bersejarah itu disambut dengan haru-biru para mahasiswa di Gedung DPR/MPR.
Naiknya B.J. Habibie menggantikan Soeharto sebagai Presiden RI ketiga mengundang perdebatan hukum dan kontroversial, karena Mantan Presiden Soeharto menyerahkan secara sepihak kekuasaan kepada Habibie. Meskipun demikian pada tanggal 22 Mei 1998 pukul 10.30 WIB, kesempatan pertama Habibie untuk meningkatkan legitimasinya yaitu dengan mengumumkan susunan kabinet baru yang diberi nama Kabinet Reformasi Pembangunan (berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 122 / M Tahun 1998) di Istana Merdeka. Dengan Keputusan Presiden tersebut di atas, Presiden Habibie memberhentikan dengan hormat para Menteri Negara pada Kabinet Pembangunan VII. Habibie memimpin Indonesia dengan sedikit kepercayaan, ia memimpin Indonesia dalam keadaan jatuh.
Ada berbagai langkah-langkah kebijakan yang dilaksanakan pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie setelah terbentuknya Kabinet Reformasi Pembangunan, antara lain: kebijakan di bidang politik, kebijakan pada bidang ekonomi, dan kebijakan pada bidang Manajemen Internal ABRI.
Di tengah-tengah upaya pemerintahan Habibie memenuhi tuntutan reformasi, pemerintah Habibie dituduh melakukan tindakan yang bertentangan dengan kesepakatan MPR mengenai masalah Timor-Timur.
Pada tanggal 14 Oktober 1999 Presiden Habibie menyampaikan pidato pertanggungjawabannya di depan Sidang Umum MPR namun terjadi penolakan terhadap pertanggungjawaban presiden karena Pemerintahan Habibie dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Rezim Orba. Kemudian pada tanggal 20 Oktober 1999, Ketua MPR Amien Rais menutup Rapat Paripurna sambil mengatakan, ”dengan demikian pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie ditolak”. Pada hari yang sama Presiden habibie mengatakan bahwa dirinya mengundurkan diri dari pencalonan presiden.

3.2. Saran
Sebaiknya kita sebagai generasi muda janganlah cepat mengambil tindakan yang dapat merugikan semua kalangan seperti tawuran atau demo karena semua yang kita lakukan haruslah berdasarkan akal sehat sehingga apa kita perbuat tidak sampai memakan korban jiwa. Dan bagi pemerintah atau aparat janganlah cepat-cepat mengambil tindakan seperti mengeluarkan senjata (pistol) apabila masyarakat atau mahasiswa yang melakukan demo. Sebaiknya ajaklah mereka berunding dan mencari jalan keluar yang lebih baik.
 

DAFTAR PUSTAKA

Ricklefs, M.C.2005. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi.

Simanjuntak.S.H. 2003.Kabinet-Kabinet Republik Indonesia. Jakatra: PT Ikrar Mandiri Abadi

Setyohadi.tuk. 2004. Perjalan Bangsa Indonesia Dari Masa ke Masa. Bogor: Rajawali Corpuration.

Habeahan, B.P, dkk. 1999. Sidang Istimewa dan Semanggi Berdarah. Depok: Permata AD Depok

Jasmi, Khairul. 2002. Eurico Guterres: Melintas Badai Politik Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Kencana Syafiie, Inu, Azhari. 2005. Sistem Politik Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama

Mashad, Dhurorudin. 1999. Menggugat Penguasa. Jakarta. Erlangga

Soemardjan, Selo. 1999. Kisah Perjuangan Reformasi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan


Winters, Jeffrey A. 1999. Dosa-Dosa Politik: ORDE BARU. Jakarta. Djambatan

Yulianto, Arif. 2002. Hubungan Sipil Militer Di Indonesia Pasca Orba Di Tengah Pusaran Demokrasi. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada


www. History Indonesia.com

Rabu, 04 Mei 2011

“PELAKSANAAN POLITIK KOLONIAL HINDIA – BELANDA DI INDONESIA (POLITIK PINTU TERBUKA, POLITIK ETHIS DAN POLITIK KESEJAHTERAAN)”


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Ketika J. van den Bosch memerintah di Indonesia, ia mendapatkan oposisi dari dewan Hindia. Johannes van den Bosch yang diangkat oleh raja Belanda menjadi komisaris jendral yang memiliki kekuasaan yang luar biasa, karena kekuasaannya itulah dia dapat menyingkirkan oposisinya dengan mudah, dan menjalankan sistem tanam paksa di Indonesia. Pada dasarnya, sistem tanam paksa ini, yang selama zaman Belanda disebut dengan cultuurstelsel, berarti pemulihan sistem eksploitasi berupa penyerahan – penyerahan wajib yang pernah dipraktikan oleh VOC dahulu. Kegagalan sistem pajak tanah meyakinkan J. van den Bosch, bahwa pemulihan sistem penyerahan wajib perlu sekali untuk memperoleh tanaman dagang yang bisa diekspor keluar negeri. Lagi pula pengalaman pajak tanah berlaku, telah memperlihatkan bahwa pemerintahan kolonial tidak dapat menciptakan hubungan dengan para petani yang secara efektif dapat menjamin arus tanaman ekspor yang dikehendaki tanpa mengadakan hubungan dahulu dengan para bupati dan kepala desa.
Ciri utama dari sistem tanam paksa yang diperkenalkan J. van den Bosch adalah keharusan bagi rakyat di jawa untuk membayar pajak mereka dalam bentuk barang, yaitu hasil – hasil pertanian mereka, dan bukan dalam bentuk uang seperti yang mereka lakukan selama sistem pajak tanah masih berlaku. J. van den Bosch berkeyakinan bahwa pengharusan sistem pajak tanah dan penggantian sistem ini dengan penyerahan wajib juga akan menguntungkan petani, karena dalam kenyataannya pajak tanah yang perlu dibayar oleh para petani sering mencapai jumlah sepertiga sampai separuh dari nilai hasil pertaniaanya. Jika kewajiban pembayaran pajak tanah ini di ganti dengan kewajiban untuk menyediakan sebagian dari waktu kerjanya untuk menanam tanaman dagangannya.
Secara teori, setiap pihak akan memperoleh keuntungan dari sistem ini. Di desa masih memiliki tanah yang cukup luas untuk kegunaannya sendiri dan akan mendapatkan penghasilan dari pertanian tersebut, sedangkan pemerintah kolonial akan mendapatkan komoditi yang sangat murah harganya seperti gula. Sehingga, menurut perkiraan J. van den bosch gula tersebut dapat bersaing dengan gula Hindia Barat di pasaran dunia yang dihasilkan oleh tanaga budak.

Tanam paksa berjalan terus tanpa diketahui oleh pemerintah pusat, bagaimana pelaksanaannya ? dan apa akibat yang ditimbulkannya. Barulah pada tahun 1843 pemerintah kolonial di Batavia mengetahui tentang adanya musibah kelaparan di daerah Cirebon. pada tahun 1840, tanda – tanda penderitaan dari orang – orang sunda dan jawa mulai tampak, khususnya di daerah penanaman tebu, adanya pergiliran tanaman antara tebu dan padi mengalami kesulitan, karena tebu telah menyita banyak waktu dan tenaga para petani, sehingga penanaman padi cenderung tidak stabil dan diabaikan. Hal ini diperparah oleh adanya pabrik gula yang menyita jatah air dan tanaman padi penduduk untuk tanaman tebu. Timbul paceklik dan harga beras naik, kelaparan dan musibah kematian terjadi di mana – mana. Setelah itu pada kurun waktu 1845 – 1850 ekspor kopi, gula dan nila merosot, sehingga hanya mendatangkan sedikit keuntungan bagi negeri Belanda. Pada umumnya tidak tau menau mengenai keadaan penduduk jawa yang menyedihkan. Hal ini disebabkan oleh adanya usaha pemerintah untuk melanggengkan penerapan cultuur stelsel di Indonesia. Kurangnya media komunikasi juga menjadi penyabab kurang taunya masyarakat Belandatentang keadaan bangsa Indonesia yang sebenarnya. Sejak tahun 1850 terbukalah mata hati masyarakat Belanda dengan adanya berita –berita kematian di Indonesia. Akhirnya terjadi perdebatan – perdebatan yang akhirnya menyetujui penghapusan tanam paksa secara bertahap akhirnya pemerintahan Belanda mengeluarkan undang – undang agrarian ( 1870 ) yang merupakan lonceng kematian pada tanam paksa.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat disimpulkan beberapa rumusan masalah, antara lain :
1.      kebijakan apa saja yang dilaksanakan pemerintahan hindia Belanda    di Indonesia setelah cultuur stelsel dihapuskan ?
2.      bagaimana dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan – kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintahan hindia – Belanda terhadap bangsa Indonesia ?



1.3  Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini, yaitu :
1.  untuk mengetahui kebijakan apa saja yang dilaksanakan pemerintahan hindia Belanda    di Indonesia setelah cultuur stelsel dihapuskan.
2.  untuk mengetahui dampak apa saja yang ditimbulkan oleh kebijakan – kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintahan hindia – Belanda terhadap bangsa Indonesia.
 

BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Kebijakan – kebijakan yang dilaksanakan pemerintahan hindia Belanda setelah dihapusnya cultuur stelsel.
         1.  Politik pintu terbuka
                        Tanam paksa yang mula diterapkan pada tahun1830, secara bertahap akhirnya dihapuskan oleh pemerintahan Belanda. Namun, mengingat bahwa tujuan yang ingin dicapai pemerinta Belanda untu mendapay keuntungan dari tanah jajahan, maka penghapusan sistem tanam paksa diikuti dengan kebijakan baru, yaitu politik pintu terbuka. Kebijakan baru ini berawal dengan dikeluarkannya undang – undang agraria( 1870 ). Dengan adanya undana – undang agrarian ini, maka secara formal sistem tanampaksa dihapuskan. Adapun tujuan dari dikeluarkannya undang – undang agrarian ini, antara lian :
1.      untuk membela dan melindungi para petani di daerah jajahan agar hak milik atas tanahnya dari usaha penguasaan oleh orang – orang lain.
2.      memberi peluang bagi penanam modal asing untuk dapat menyewa tanah dar rakyat Indonesia, sehingga menguntungkan bagi rakyat Indonesia.
Adapun isi undang – undang agrarian tersebut antara lain :
1.      tanah Indonesia dibedakan menjadi dua macam, yaitu : tanah rakyat dan tanah pemerintah.
2.      tanah rakyat dibedakan atas: tanah milik yang sifatnya bebas dan tanah untuk keperluan penduduk desa yang sifatnya bebas.
3.      tanah pemerintah adalah tanah yang bukan milik rakyat, yang dapat dijual atau disewakan untuk dijadikan perkebunan.
Setelah dikeluarkannya undang – undang agrarian, dikeluarkannya pula undang – undang gula yang bertujuan untuk mengatur pergantian penguasaan perusahaan – perusahaan pemeirntah kepada pihak swasta, secara perlahan. Adapun isi dari undang – undang gula tersebut antara, lain :
1.     sewa hanya dapat dilakukan antara satu sampai dua tahun.
2.     uang sewa sebesar hasil dari satu kali panen petani, kalau tanah itu dikerjakan oleh petani.
3.     investor asing wajib mengadakan perjanjian langsung atau kontrak dengan petani.
Dengan dikeluarkannya undang – undang agraria dan undang – undang gula ini, maka terbukalah Indonesia bagi kaum liberal eropa untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Dengan adanya modal asing yang ditanamkan  di Indonesia, maka muncullah perkebunan – perkebunan asing seperti, tebu, kopi, tembakau, teh, kina, kopra, dan sebagainya. Perkebunan tebu mengalami perkembangan yang sangat pesat, karena gula merupakan mata dagang ekspor yang laku keras di pasaran eropa. Disamping gula, perkebunan tembakau juga berkembang pesat di daerah surakata, yogyakarta dan Sumatra timur ( deli ). Perkebunan teh dan kina dikembangkan di daerah jawa barat dan jawa tengah , perkebunan kelapa dipusatkan di sulawesi.
Usaha – usaha perkebunan swasta ini mengalami perkembangan yang sangat pesat antara tahun 1970 – 1885. sehingga, keuntunganyang didapatkan melimpah ruah, hal ini ditunjang lagi dengan adanya pemakian mesin – mesin pengolahan yang modern dan lebih baik. Dengan di bukanya terusan zues pula, jarak yang ditempuh menjadi pendek. Sehingga, menambah keuntungan yang dihasilkan atau penguasa asing.
Untuk melancarkan perkembangan produksi tanaman ekspor tersebut, maka pemerintah hindia – Belanda membangun sarana – sarana penunjang seperti: waduk, saluran irigasi, jalan raya, jalan kereta api, dan dermaga pelabuhan. Untuk pererjaan ini, pemerintah Hindia – Belanda kembali mengarahkan tenaga rakyat dengan sistem kerja rodi, sebagai akibatnya rakyat mendapat penderitaan yang sangat berat. Lebih – lebih saat perdagangan hasil tanaman ekspor molai menurun, karena harga pasaran dunia jatuh karena daerah – daerah Eropa mulai menanam dan memproduksi gula. Demikian pula dengan kopi, tembakao, the dan produksi lainnya mulai menurun penghasilannya.
Sedangkan di Sumatra perkebunan mengalami kesulitan dalam hal tenaga buruk berbeda dengan keadaan perkebunan di jawa wsebagai daerah yang padat penduduk, memudahkan dalam mencari tenaga buruh. Di Sumatra perkebunan memenuhi ke butuhan tenaga kerjanya dengan mendatangkan buruh dari jawa. Karena perlakuaan pengawasan terhadap buruh sangat kasar,banyak buruh yang melarikan diri dari perkebunan, untuk mengatur hal tersebut, maka pemerintah Belanda mengeluarkan undang – undang “ koelie ordanintie”, sebagai ancaman bagi para kuli yang berani meninggalkan pekerjaan sebelum waktunya tiba, diadakanlah “Flonale Snctie”. Dengan demikian dapat dikatakan pada era politik pintu terbuka ini terjadi suatu sistem perbudakan yang dilandungi oleh undang – undanmg, sehangga sangat menyengsarakan rakyat Indonesia karena politik pintu terbuka hanya sebatas tataran teori semata yang jauh dari pelaksanaannya.
2 Politik Etis
Dengan kemenangan orang – orang Liberal Belanda pada tahun 1884, di negeri Belanda terjadi perubahan haluan politik, begitu pula dengan politik yang di tetapkan didaerah jajahannya dirubah berdasarkan haluan politik liberalisme. Banyaknya keadaan – keadaan di Indonesia yang tidak sesuai dengan zamannya, dicela baik didalam maupun di luar persidangan Dewan Perwakilan Rakyat Belanda. Douwes Dekker, ialah salah seorang countroleur B.B yang dengan susah payah membela nasib rakyat banten yang di tandasbaik oleh pemeritahan Belanda maupun oleh orang – orang pamong praja., yang menjadi alat pemerintah kolonial Belanda. Sepulangnya ke nederi belabda, dekker menulis buku yang berjudul “ Max Havellar”, dengan nema samaran dalam bahasa latin “Multatuli” yang memiliki arti “saya sangat menderita”. Yang mampu membuka mata orang – orang Belanda untuk mengetahui keburukan pemerintahan kolonial pada waktu itu.
Salah satu cerita yang tekenal adalah kisah Sidja dan Adinda yang cukup jelas menggambarkan nasib seorang pemuda Indonesia yang sangat menyedihkan pada zaman penindasan tersebut. Orang – orang yang berpendapat seperti Dauwes Dekker yang kemudian diteruskan oleh orang – orang ahli politik Belanda yang dengan kemauan baik memperlihatkan dengan sungguh – sungguh hasratnya terhadap bangsa Indonesia yang meminta perbaikan hasil dan kedudukannya sebagai bangsa orang – orang ini di sebut sebagai orang yang memperjuangkan aliran etika . perkataan etika ini mula – mula diambil dari bahasa Belanda Ethisch dan mula – mula berarti ajaran yang bersendikan ketinggian jiwa manusia.
Salah seorang yang beraliran etika ini adalah Baron van Hoevell seorang pendeta nasani protestan, secara berapi – api membela kebenaran dan meminta perbaikan nasib bangsa Indonesia didalam siding perwakilan rangyat  Mr. Theodoor Conradt van Deventer yang menulis karangan yang dimuat di majalah De Gids pada tahun 1899 dengan judul “ Een Eereschuid” yang dalam bahasa Indonesia berarti hutang budi didalam karangan itu ditulis bahwa setelah pada saat Belanda diberi bantuan yang berjuta – juta rupiah dari jerih payah bangsa Indonesia sudah sepatutnya jika uang tadi yang dianggap sebagai hutang harus dikembalikan lagi kepada bangsa Indonesia dengan cara sebagai berikut:
1.      memperkecil dan meringankan beben bangsa Indonesia.
2.      memberantas hal – hal yang menghambat kemajuan bangsa Indonesia.
3.      majujukan pengajaran di Indonesia.
Dalam sejarah van deventer sangat terkenal dengan triloginya yang terdiri atas:
1.Irnfatie (pengairan).
2. emigratie (perpindahan penduduk )
3. Educatie (pendidikan)
Pemerintahan Belanda yang tidak dapat membantah kebenaran politik etika ini penerimanya, akan tetapi diselenggarakan dengansistem penjajahan.pekerjaan yang berkaitan dengan pengairan dilaksanakan, akan tetapi untuk melayani kebutuhan orang – orang kapitalis Belanda yang juga membutuhkan pengairan untuk perusahaan gula, dimana pemerintah Belanda memyuruh membuat jalan dan sebagainya. Ini ditujukan untuk mempermudah pengangkutan hasil perkebunan menuju pelabuhan. Dengan kata lain segala hal yang bergerak kearah kemajuan ditujukan pada kebutuhan golongan kapitalis.
Tentang hal pendidikan juga ditujukan kepada kemajuan perekonomian sebab dengar terbukanya terusan zues dan alat – alat teknik baru, perusahaan kepunyaan orang – orang kapitalis Belanda membutuhkan tenaga terpelajar bangsa Indonesia agar prekonomian bangsa Indonesia tidak tertinggal dari negeri – negeri asing. Pemerintah Belanda memperkerjakan pemuda – pemuda keluaran sekolah rendah dan menengah, bahkan sekolah tinggi sebagai juru tulis dengan gajih antara 10 dan 40 rupiah sebelumnya. Yang di beri pendidikan dapat kita hitung dengan jari sedangkan rakyat yang jumlahnya berjuta – juta orang dibiarkan bodoh. Hal ini disebabkan karena pemerintah Belanda sadar bahwa dengan adanya rakyat Indonesia yang pintar akan menggoncangkan kedudukan pemerintah Belanda.
Pertambahan penduduk yang sangat cepat di Indonesia merupakan persoalan yang benar – benar menyita perhatian pemerintahan Belanda salah satu jalan untuk memecahkan masalah ini adalah dengan cara memindah penduduk. Karena hal ini menghabiskan banyak biaya yang tidak menguntungkan golongan kapitalis bisa dikatakan pemindahan penduduk itu belum bisa dijalankan. Salah satu sebabnya adalah dengan adanya tenaga yang berlebihan di jawa, mereka ini niscaya akan bersaing mencari pekerjaan, sehingga perusahaan kapitalis Belanda dapat mempergunakan tenaga dengan membayar 4 dan 6 sen sehari untuk memberi nafkah kepada pekerja – pekerja itu. Untuk memecahkan masalah itu golongan nasionalis mengusulkan kepada pemerintah Belanda untuk mengadakan industri secara besar – besaran di Indonesia, akan tetapi hal ini ditolak. Karena dianggap akan menyaingi industri Belanda.
Cukup jelas bahwa, dengan digantikannya haluan konservatif oleh haluan yang dinamakan etika, Indonesia belum tertolong. Maka dari itu orang – orang nasionalis yakin bahwa Indonesia hanya mencapai kesejahtraan, apabila bangsa Indonesia berkuasa dibidang politik, dengan kata lain Indonesia merdeka. Hanya Indonesia yang bebas dari penjajah yang bias membawa rakyatnya bahagia. Setelah perang pasifik berjalan 3 bulan, yaitu pada bulan maret 1942 tentara jepang mendarat di pulau jawa. Oleh karena itu Belanda dapat dikatakan tidak melawan sama sekali pada tanggal 10 maret 1942 gubernur jendral Tjarda van starkenborgh stachouwer dan letnan jendral ter poorten meyerah dengan tidak bersyart di kali jati. Dengan ini habislah riwayat kolonial hindia Belanda.














2.2 Dampak yang ditimbulkan oleh kebijaksanaan – kebijaksanaan yang dilaksanakana oleh pemerintah hindia Belanda di Indonesia.
Semua kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah hindia Belanda membawa dampak yang buruk pada umumnya, namun dalam beberapa hal ada juga dampak yang positif
1.      politik pintu terbuka
politik pintu terbuka membawa perbaikan dan perubahan di Indonesia yaitu, dihapusnya sistem tanam paksa yang sangat menyengsarakan rakyat, dibayarnya para pekerja yang pada masa tanam paksa tidak dibayar, dikeluarkannya sistem pajak langsung yang mendorong pertumbuhan ekonomi, perlindungan bagi bumi putra oleh pemerintah khususnya mengenai haknya yang berhubungan dengan tanah. Politik pintu terbuka juga berakibat positif bagi rakyat Indonesia dimana kehidupan rakyat Indonesia menjadi lebih baik, karena dibebaskan dari perlakuaan tidak adil pada masa tanam paksa, sebaliknya mereka dibayar untuk menanam tanaman yang diperdagangkan oleh para penguasa Belanda. Mereka juga bebas membudayakan tanah garapanya dengan tanaman apapun yang disukainya. Kebanyakan petani menanam tanamn yang dikonsumsi sendiri, dan  yang lainnya menanam tanaman untuk dijual. Selain hal di atas politik pintu terbuaka juga mengakibatkan ekspansi perekonomian jawa yang cepat dimana perekonomian jawa diperluas dengan cepat. Kebebasan berusaha mendorong membuka tanaman perdaganagan di jawa bersamaa dengan dibukanya terusan zues yang juga mempengaruhi perdagangan eropa barat dan timur. Dampak yang lain dari kebijakan ini adalah meningkatnya komunikasi dan transportasi karena perkembangan perdagangan dan insdustri  yang cepat di pulau jawa. Jalan dan rel kereta api dibangun untuk menghubungkan perkebunan satu dengan perkebunan yang lain serta dari perkebunan menuju pelabuhan. Keberhasilan komersial politik pintu terbuka di jawa menimbulkan golongan kelas menengah yang terdiri dari Belanda asli, indo – Belanda, pri bumi dan imigran cina. Sedangkan dampak positif bagi pemerintah Belanda adalah keuntungan yang sangat besar bagi kaum swata Belanda dan pemerintah hindia – Belanda dari pajak penyewaan tanah dan penjualan hasil – hasil pertanian yang ditanam di Indonesia. Sedangkan dampak negative pintu terbuka bagi Indonesia adalah kesengsaraan rakyat karena dalam menunjang pembentukan perekonomian ini, pemerintah Belanda membangun prasarana irigasi dan perhubungan yang menggunakan tenaga kerja rakyat Indonesia melalui kerja rodi yang sangat menyengsarakan rakyat. Selain penderitaan dan sengsaraan rakyak di pulau jawa juga mengalami kemosrotan, antara lain :
a.       produksi bahan makanan semakin berkurang karena banyak tanah pertaniaan yang dijadikan tanah perkebunan.
b.      Kerja rodi terus berlanjut denagan upah yang sangat rendah.
c.       Sistem perpajakan sangat memberatkan sehingga rakyat menderita dan miskin.
d.      Adanya krisis perkebunan pada tahun 1885 sehingga pendapatan rakyat sangat rendah.
e.       Keadaan ekonomi rakyat sangat buruk.
f.       Angkutan tradisional semakin tersingkir akibat adanya angkutan kereta api dan kendaraan bermotor.
2.      politik etis
pada awal tahun 1890 orang – orang Belanda yang progresif menyampaikan usul kepada parlemen Belanda bahwa sudah waktunya Belanda memikirkan nasib bangsaa itu Indonesia atau membalas budi baik bagsa Indonesia, karena Belanda sudah mengambil kekayaan dari bangsa Indonesia. Conraad the odore van deventer ialah orang yang menggagas perjuangan politik etis. Ia menulis karanagn dalam majalah de gids pada tahun 1899 dengan judul Een ereschuld ( hutang budi ). Dalam karangannya van de venter menyebutkan bahwa Belanda telah memperoleh kekayaan yang cukup banyajk dari Indonesia sebagai jerih payah bangsa Indonesia. Oleh karena itu, sudah sewajarnya lah jika bangsa Belanda budi baik bagsa Indonesia. Salah satunya denagn melaksanakan tri logi van de venter antara lain :
a.       edukasi ( pendidikan )
b.      irigasi ( pengairan )
c.       imigrasi (perpindahan penduduk )
usulan tentang trilogi van deventer ini dapat diterima oleh pemerintah Belanda, akan tetapi pelaksanaannya diselewengkan menjadi politik asosiasi, artinya hanya menguntungkan pemerintahan Belanda. Sehingga pelaksaan politik balas budi hanya menguntungkan pihak Belanda, namun salah satu trilogy van deventer mengenai pendidikan sedikit menguntungkan bagi sedikit bangsa Indonesia, yaitu diberikannya kesempatan bagi anak – anak bangsa Indonesia untuk mengenyam pendidikan diperguruan tinggi, walaupun hanya untuk golongan tertentu saja. Akan tetapi kesempatan ini akan melahirkan golongan intelektua. Golongan terpelajar ini dapat menyadari bahwa kedatangan Belanda hanya untuk memperoleh keuntungan untuk bangsa Belanda sendiri, dan kesadaran tentang hak asasi manusia yang bertentangan dengan sistem penjajahan sehingga memunculkan keinginan untuk mencapai kemerdekaan yang nantinya memimpin pergerakan bangsa terhadap penjajah.